Berteologi atas
Dasar Cerita
Pertanyaan yang
kemudian diajukan di sini adalah, jika metode menganalisa sebuah cerita dipakai
untuk mengerti relasi antara orang percaya dengan Tuhan secara pribadi,
bagaimana sebenarnya seseorang mempelajari Alkitab? Pendekatan narasi memang
memberikan sebuah proposal bahwa pemahaman teologi dapat dibangun berdasarkan
pemahaman dan penghayatan sebuah cerita di dalam sebuah konteks budaya tertentu.
Jika seseorang membaca sebuah cerita, maka ada kemungkinan inti berita yang ada
di dalamnya tidak dipahami, namun cerita tersebut tetap akan memberikan
pengalaman khusus yang tidak sama dengan orang lain ketika membaca cerita yang
sama. Kondisi semacam ini sebenarnya sangat berharga baginya karena makna cerita
itu mengakibatkan perubahan hidup dan membawanya kepada cakrawala hidup yang
lebih terbuka. Dengan kata lain, cerita dapat digunakan sebagai sarana
penyampaian iman.
George Lindbeck mengatakan bahwa pengaruh
metode narasi semacam ini terhadap pemahaman teologi akan lebih membumi oleh
karena semua pembaca di bawa masuk ke dalam dunia cerita (baca: “scriptural
world”); bahwa tidak ada dunia yang lebih nyata daripada ini.
[4]
For those who are stepped in them [i.e.
in religious texts], no world is more real that ones they create. A Scriptural
world is thus able to absorb the universe. It supplies the interpretive
framework within which the believers seek to live their lives and understand
reality.[5]
Metode yang dikenal sebagai Metode Analisa
Struktur ini muncul sebagai reaksi terhadap beberapa metode pendahulunya.[6]
Di dalam perkembangannya kemudian, metode ini lebih condong mengikuti
perkembangan dalam ilmu sastra. Anggapan dasar yang menjadi titik tolaknya
adalah bagaimanapun sejarah kejadian sebuah teks bukanlah merupakan suatu
masalah karena yang penting adalah bagaimana melihat dan memahami hasil akhir
dari teks tersebut. Sebuah teks harus didekati dan dipahami sebagai sebuah
kesatuan dan bukan sebagai suatu kumpulan tradisi. Petunjuk atau kata-kata kunci
menafsirkan teks sebenarnya sudah di “sembunyikan” oleh penulis di dalam
tulisannya. Itulah sebabnya tidak perlu menggunakan sarana pembantu dari luar
untuk menafsirkannya, melainkan kembali ke dalam teks dan menemukannya di sana.
Yang perlu dilakukan di sini adalah mencari dan menemukan relasi internalnya.
Dengan
memperhatikan peran dari bahasa, pembaca akan dapat melihat realita dan
pengalaman hidup iman dengan lebih tajam. Sehingga banyak hal di dalam Alkitab
akan terpahami secara lebih nyata dibandingkan dengan sekumpulan dogma yang
sulit dipahami dan sulit teraplikasi sebagai produk metode berteologia
sebelumnya.
Struktur literatur teks dapat diuraikan dengan cara
mengajukan berbagai macam pertanyaan pembantu, misalnya apakah jenis teks ini?
Siapakah yang menjadi tokoh utama dan berperan? Adakah perubahan tokoh, tempat
dan waktu? Adakah pertentangan yang timbul? Adakah kata kunci yang berulang kali
dipakai? Adakah peralihan yang logis atau perpecahan? Adakah hubungan internal
di dalam teks? Adakah petunjuk khusus dari penulis sendiri? Dsb.[7]
Metode Narasi:
Penyeimbang Konsep Berteologi
Problema
bagaimana menghadirkan Firman Allah di dalam konteks kehidupan di dalam masa dan
kondisi yang berbeda dapat dikatakan menjadi inti pergumulan berteologia. Secara
sederhana istilah “teologia” berarti studi tentang Allah. Cakupan yang ada di
dalamnya melihat Allah sebagai Pribadi yang aktif di dalam pekerjaan dan
relasiNya dengan manusia. Dengan cara yang lain, di dalam teologi memikirkan
segala sesuatu yang dapat manusia pahami tentang Allah, tentang dirinya sendiri,
lalu bagaimana memahami relasi keduanya. Bahwa Allah memang adalah Allah yang
ada di seberang sana, yang terpisah dan tidak akan terkait sama sekali dengan
dunia yang diciptakannya (transendensi). Namun pada saat yang sama, Allah adalah
juga Allah yang turut serta berada di dalam dunia ciptaan, bahkan tinggal di
sana (imanensi). Pergumulan memahami realita ini di dalam prakteknya tidaklah
sesederhana yang dibayangkan. Tidak mengherankan jika usaha ini kemudian lebih
menitik-beratkan pada salah satu aspek tertentu dan ini akan menimbulkan
problema serius di dalam hal bagaimana seseorang berteologi.
Jika aspek
transendental Allah mendapatkan penekanan lebih akan menjadikan teologi yang
dihasilkannya kurang (bahkan tidak) relevan dengan konteks budaya dan konteks
kehidupan. Sementara jika penekanan diberikan kepada aspek imanensi Allah, maka
teologi yang muncul akan lebih bersifat spesifik terhadap konteks budaya dan
kehidupan tertentu saja.
Teologia Narasi yang muncul pada dekade 70-an ini memang
berusaha mencari jalan keluar mengatasi problema teologi masa-masa sebelumnya
yang dirasakan terlalu memberikan tempat yang lebih terhadap aspek transendensi
Allah. Grenz mengatakan bahwa pendekatan berteologi mulai pada masa ini berusaha
menemukan keunikan dan kepentingan dari sebuah cerita bagi kekayaan pemahaman
manusia akan keberadaan dirinya di hadapan Allah[8]
; Bahwa Allah turut serta di dalam realitas hidup yang dinamis. Ia berada
bersama umatNya di dalam setiap pergumulan kehidupan mereka yang nyata.
Kehadiran Allah
tidak dilihat terpisah, “ada di atas” atau “ada di depan”, namun hadir secara
nyata dan pribadi sama seperti kehadiranNya di dalam setiap cerita yang
dikisahkan di dalam Alkitab. Cerita ini pada akhirnya menolong setiap orang
percaya membangun ceritanya masing-masing. (baca: “berteologi”).
Narrative thinkers agree … that God is
a dynamic reality who participates with us on the journey of life. But the focus
of the divine participation is story, they argue. God calls us to join our story
-- our history – with the broader story of the divine activity in history.[9]
Perhatian
terhadap relasi antara narasi dan penyataan Diri Allah di dalam imanensiNya
dilihat cara baru menetapkan bangunan teologi Kristen, dalam arti merefleksikan
kepentingan narasi di dalam ekspresi pengalaman manusia secara umum dan iman
Kristen secara khusus.
Pemikiran Ulang
:
Cara ini kemudian menghasilkan kontroversi sendiri di
kalangan para pemikir teologia narasi. Tidak semua teolog Kristen setuju bahwa
cara ini dapat dilakukan dan menjadi cara baru memahami realita iman Kristen.[10]
Mereka lebih cenderung memberikan “tanda awas” karena lebih melihatnya sebagai
sebuah proses dekonstruksi di dalam berteologia.[11]
Beberapa hal yang nampaknya perlu mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut :
Teks, Cerita &
Konsep Pewahyuan
Hans Frei, seperti yang dikutip oleh Clark
mengatakan bahwa setiap narasi di dalam Alkitab dilihat sebagai yang dapat
berbicara kepada kita secara langsung dan membawa kehidupan kita di tempat
seharusnya berada serta sekaligus memberikan arti pada kehidupan itu sendiri.[12]
Bacalah setiap kisah sebagai kisah dan setiap arti dari kisah itu dapat
ditemukan di dalam kisah itu sendiri. Dunia Alkitab dapat memberikan penuntun
bagaimana seorang percaya melihat dan memahami realita kehidupannya tanpa harus
direpotkan dengan usaha menterjemahkannya ke dalam konteks dan situasi tertentu.
Yang perlu dilakukan adalah memberikan perhatian, bukan kepada cerita itu
sendiri, tetapi kepada sesuatu yang ingin disampaikan oleh teks.
Bagi Frei, arti dari Alkitab bagi kehidupan
Kristen terletak pada cerita yang disampaikannya dan bukan pada sesuatu yang ada
di luar seperti catatan sejarah, pengalaman pribadi setiap orang yang ada di
dalam cerita itu. Teks tidaklah menjadi pelayan kepada semua yang berada di luar
teks. Arti penting terletak pada cerita.[13]
Jadi, yang perlu dilakukan oleh seseorang adalah masuk ke dalam “dunia cerita”
tersebut dan mendapatkan semua pengertian itu di dalamnya. Dengan demikian
pemahaman teologi yang dibangun atas dasar prinsip ini menemukan isinya di dalam
setiap teks Alkitab.
Model semacam ini jelas telah mengabaikan
prinsip pewahyuan oleh karena teks di sini dilihat sebagai yang bersifat otonom
pada dirinya sendiri atau menjadi sistim tertutup. Hal-hal yang berkaitan dengan
historisitas, referensi, ontologi dianggap tidak sesuai dengan sifat narasi dan
tidak mencerminkan kesetiaan teologis yang bersifat intratekstual.[14]
Ronald Thiemann di dalam kritiknya mengatakan
bahwa metode narasi telah memberikan perhatian secara berlebihan terhadap teks
dan sangat kurang berbicara mengenai hal-hal teologis, bahkan hampir tidak
berbicara tentang Allah. Dengan kata lain, berusaha memberikan penekanan kepada
aspek imanensi Allah, pengalaman yang nyata bersama Dia, namun demikian fokus
kehadiran bersama Allah ini terletak pada cerita.[15]
Pembicaraan tentang teks mendapatkan perhatian lebih dan menggantikan wacana
tentang Allah. Teks telah mengambil tempat Allah.[16]
Kebenaran dan makna teks terletak pada komunitas tertentu dan tidak pada
penerimaan bahwa teks itu adalah wahyu Ilahi. Kategori wahyu yang bersifat
ontologis-teologis telah diubah menjadi teks yang bersifat otonom pada diri
sendiri. Pemahaman dan pengalaman iman di dalam kekristenan memang melihat dan
menerima Alkitab sebagai teks kanonikal yang diwahyukan Allah namun – seharusnya
– sekaligus memandang melalui teks tersebut kepada objek referensinya dan
menemukan Allah yang telah memberikan wahyuNya tersebut.
Pergeseran Fokus
Pencarian Kebenaran
Di
dalam bukunya, The Art of Biblical Narrative, Robert Alter memang berhasil
membawa hasil studi kritik sastra terhadap Alkitab dengan menarik dan meyakinkan.
Itulah sebabnya amatlah perlu seorang pembaca Alkitab memahami segala sesuatu
yang berhubungan dengan bahasa dan sastra yang dipakai Tuhan untuk menyampaikan
ceritaNya. Keperluan itupun dapat mendorong kita sekarang ini mempelajari
unsur-unsur baru yang datang melalui studi kritik literer modern.
Memang bukanlah merupakan sebuah kesalahan – dan bahkan seharusnya demikian –
seorang teolog memahami dan menguasai semua bentuk sastra yang menjadi bagian
pembentukkan cerita di dalam Alkitab. Pekerjaan hermeneutika di sini akan
menjadi lebih bertanggung jawab. Namun pola hermeneutika yang dikembangkan oleh
metode narasi semacam ini secara perlahan menggeser fokus teologis kepada
hermeneutika formalistik oleh karena banyak unsur di dalam disiplin hermeneutika
yang seharusnya mendapatkan perhatian terabaikan. Akibatnya, apabila diterapkan
pada suatu keinginan untuk dapat mengerti kebenaran dan hidup, maka akan
dijumpai pula pergeseran yang sangat hakiki, kehidupan (Kristen) akan cenderung
berpola pragmatis.
Selanjutnya jika diamati, pembacaan Alkitab yang menekankan teks sebagai pusat
perhatian rupanya juga tidak serta-merta menjadikan teks sebagai sebuah entitas
objektif, melainkan teks itu sendiri direlatifkan oleh komunitas pembaca.
Kebenaran lokal dan otoritas pembaca ternyata memiliki peran yang sangat dominan
sekali di dalam penentuan makna. Tidak mengherankan jika definisi kebenaran
dapat dilihat sebagai kebenaran relatif oleh karena ketergantungan ini.
Kebenaran tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang bersifat substantif dan
ontologis, tetapi lebih kepada pengertian pragmatis dan kategorial.
Perangkap
Pengalaman Rohani
Demi mendapatkan
pengalaman rohani yang sesuai dengan Alkitab, suatu kehidupan yang lebih konkrit
di dalam pengalaman iman seperti yang menjadi promosi di balik penerapan pola
hermeneutik narasi, nampaknya terkesan menghalalkan segala cara oleh karena
titik perhatian akhir hanya kepada teks dan semua bentuk sastra yang dipakainya.
Cara ini berusaha membebaskan diri dari kutub yang satu yang diwarnai dengan
kekurang pedulian akan makna aplikatif pembacaan Alkitab dan terjebak pada kutub
yang lain, yang sangat menekankan point aplikatif dan kurang – atau bahkan –
tidak terlalu peduli untuk memahami Alkitab dalam konteks budaya dan sejarahnya.
Dengan kata lain, cara ini berusaha menjembatani kesenjangan yang terjadi antara
setiap teks Alkitab dengan aplikasi kehidupan kekristenan di sepanjang abad dan
tempat.
Usaha mencari pengalaman rohani ini nampaknya memiliki
kemiripan isi meski lain bentuk dengan teologia Neo-Orthodoks. Memang tetap ada
perbedaan yang hakiki pula di antara keduanya.[17] Menurut Karl Barth, Alkitab adalah firman Allah sejauh Allah berbicara
melaluinya. Alkitab dengan demikian menjadi Firman Allah di dalam peristiwa ini.
Sebelum Alkitab berbicara secara pribadi, sebelum nyata dan terpancar di dalam
kehidupan, maka Alkitab bukanlah firman Allah, melainkan sebuah catatan
penyataan Allah pada masa lalu sekaligus menjadi janji untuk penyataan masa
mendatang. Semua ini akan terjadi jika seseorang (jemaat) membebaskan diri dari
text dan mencari meaning melalui pengalaman encountering
dengan Roh Allah.[18]
Harvie Conn mengatakan bahwa pemikiran Barth ini akan
membawa manusia kepada pengalaman subjektif sebagai kriteria kebenaran.
Penyataan Allah dikatakan sebagai perjumpaan, konfrontasi, dialog. Alkitab
bukanlah penyataan sampai Alkitab menjadi penyataan kepada kita. Definisi ini
menghancurkan konsep penyataan itu sendiri.[19]
Penekankan
metode narasi terhadap aspek subjektif di dalam pengalaman iman telah membawanya
masuk ke dalam pengalaman mencari arti ke dalam teks dan bersiap menerima
“kebenaran baru” yang mungkin sekali tidak pernah ada di dalam pengakuan iman
gereja selama ini.
Narasi Alkitab &
Aplikasi Kebenaran Kristen
Kepedulian yang
ada di belakang metode narasi dapat dikatakan tidak salah, hanya metode yang
dipakainya perlu dikaji ulang. Metode ini dan cara pendekatan yang digunakan
berusaha membawa pembaca menyesuaikan diri dengan dunia simbolik di dalam cerita.
Pembaca di dalam hal ini dibawa masuk ke dalam “dunia cerita” untuk dapat
memperoleh pengalaman penghayatan yang lebih dari sekedar sebuah pengertian
akali saja. Suatu usaha mendeskripsikan dunia simbolik yang diciptakan
narasi-narasi Alkitab itu yang pada gilirannya menjadi semacam kerangka
interpretif untuk melihat dunia inderawi. Narasi Alkitab dipandang sebagai yang
mampu menyusun ulang kehidupan di dalam dunia Kristen.
Langkah ini harus diambil oleh karena pola hermeneutika selama ini dipakai
menganggap dunia sekarang adalah realitas utama dan dunia Alkitab harus
menyesuaikan diri kepadanya, sementara dunia sekarang pasti mempunyai kisah dan
sejarahnya tersendiri.
Dasar asumsi ini justru menimbulkan penghargaan terhadap
esensi keberadaan Alkitab menjadi kurang oleh karena Alkitab hanya akan
dipandang dan diterima sebagai sumber yang membawa konsep idealistik di dalam
wilayah moral dan berbagai lambang pengalaman rohani saja.[20]
Narasi yang bersifat sejarah perlu dipertanyakan apakah layak masuk ke dalam
pertimbangan oleh karena hal semacam ini bukanlah sesuatu yang harus menempati
tempat utama di dalam proses pemahaman dan aplikasi kebenaran Kristiani.
Kesimpulan
Berteologia di dalam konteks teologia narasi memiliki keunikan tersendiri.
Dengan berbagai pendekatan yang dibuat telah menyajikan dan menjanjikan suatu
pengalaman hidup kekristenan yang lebih riil, sebuah pengalaman hidup iman yang
konkrit. Usaha ini memang patut mendapatkan penghargaan.
Meski demikian pendekatan yang dikembangkannya ini perlu dipertanyakan ulang
oleh karena di dalam banyak aspek justru mengorbankan disiplin ilmu hermeneutika
yang selama ini dipakai. Problem yang terjadi terjadi pada dasar anggapan yang
ada di belakangnya, bahwa cara mendekati Alkitab selama ini yang dipakai (oleh
gereja Tuhan) ternyata hanya menghasilkan gap antara kehidupan Kristen
itu sendiri dengan kehidupan orang percaya yang ada di dalam cerita Alkitab.
Setiap khotbah yang dikonsumsi jemaat tidak ditemukan area aplikasinya. Bahwa
kehidupan setiap tokoh di dalam cerita Alkitab adalah kehidupan yang memiliki
rohani “sempurna” dan hal itu tidak mungkin dialami oleh kehidupan masa kini.
Kalaupun dialami berada di level bawah.
Pendekatan narasi membuka pintu terlalu lebar akan kemungkinan penetapan
kebenaran Alkitab secara relatif dan subjektif. Kebenaran pada teks akan sangat
ditentukan pada peran komunitas pemberi makna. Kebenaran mendapatkan kekuatannya
dari pengalaman realitas si penerima.
Bangunan teologi iman Kristen justru sangat percaya sifat objektivitas dari
Alkitab yang menyatakan kebenaran Allah tanpa harus ditentukan kebenarannya dari
pihak luar. Untuk mendapatkan semua ini tentunya menggunakan jalur bagaimana
sikap dan cara mendekati, mempelajari dan menarik kebenaran Alkitab itu keluar (hermeneutika).
Prinsip, metode dan cara yang salah pasti akan menghasilkan kesimpulan prinsip,
metode dan cara aplikasi di dalam kehidupan yang salah pula.
Kepustakaan
Barth, Karl. (Trans)
G.T. Thomson.
Church
Dogmatics. Edinburgh: T & T Clark, 1977
Boadt,
Lawrence.
Reading the Old Testament, An Introduction. New York: Paulist Press,
1984.
Theo Witkamp.
“Tentang Metode-metode Penelitian Teologi (terutama dalam Ilmu Alkitab)”,
Gema Duta Wacana. No.42/1992.
Clark, David
K.
“Narrative Theology and Apologetics.” JETS 36/4 December 1993.
Conn, Harvie
M.
Teologia Kontemporer. Malang: SAAT, 1988.
Darmawijaya,
ST.
Membangun Jembatan antara Teologia Cerita Rakyat dengan Teologia Cerita
Alkitab. Gema Duta Wacana. No.
41/1991.
Frei, Hans.
“Response to Narrative Theology: An Evangelical Appraisal,” Trinity Journal
8:1 September 1987
_________.
The Eclipse of Biblical Narrative: A
Study in Eighteenth and Nineteenth Century Hermeneutics.
New Haven: Yale University, 1974.
Goldberg, Michael.
Theology and Narrative.
Nashville: Abingdon, 1982.
Grenz,
Stanley.
“Twentieth-Century Theology, The Quest for Balance in Transitional
Age.” Perspectives June 93.
Grenz,
Stanley Roger E. Olson.
20th Century Theology, God & the World in a
Transitional Age. Downers Grove: InterVarsity Press, Illinois, 1992.
Groenen, C.
Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1979.
_________.
Peristiwa Yesus. Ende: Nusa Indah/Kanisius, 1979.
Hadiwijono,
Harun.
Theologia Reformatoris Abad 20. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1985.
Andreas Himawan,
“Tekstualitas dan
Intratekstualitas,” Veritas 1/2 (Oktober 2000).
Lindbeck,
George.
The Nature of Doctrine: Religion and Theology in Postliberal Age.
Philadelphia: Westminster, 1984.
Mello,
Anthony J.
Sejenak Bijak. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
_____________
.
Burung-burung Berkicau Edisi 2. Cipta Loka Caraka, 1985.
Stroup, George W.
The Promise of Narrative Theology.
Atlanta: John Knox, 1981.
Thiemann,
Ronald.
“Response to George Lindbeck,”
Theology Today 48:3,
October
1986.
[1] | Anthony J. Mello, Sejenak Bijak, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal.7. top |
[2] | Ada tiga usulan cara pembacaan yang diusulkannya, yaitu (1). Membaca cerita sebagai sebuah hiburan. Di sini, cerita hanya dibaca satu kali saja. (2). Membaca sebuah cerita dua kali dan melakukan refleksi. Inti cerita itu diterapkan di dalam kehidupan pembaca. (3). Cerita yang sama dibaca tiga kali lalu ciptakan sebuah keheningan di dalam hati setelah melakukan refleksi. Anthony J. Mello, Burung-burung Berkicau Edisi 2, (Cipta Loka Caraka, 1985) hal. 11. top |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar