Pages

Subscribe:

Mengenai Saya

Foto saya
Selamat datang di dunia teologia. BELLA berharap,, blog ini bermanfaat bagi teman2 semua...

Pengikut

Senin, 30 Januari 2012

teologia



Kepekaan Teologi pada Tanda Zaman

Kesibukan berteologi kita sekarang ini terasa kurang terarah. Mungkin, karena kita kurang merumuskan persoalan dengan jelas, atau bisa juga karena soal yang kita pergumulkan kurang mempunyai pijakan pada kenyataan kehidupan. Kesibukan kita kurang peka terhadap tanda-tanda zaman. Sehingga, teologi kita tidak punya komitmen yang sungguh-sungguh terhadap masa depan.
Kecuali itu, dalam lingkungan akademis, teologi kita juga tak punya referensi pada perkembangan ilmu-
ilmu sosial pada umumnya, sehingga perspektif berpikirnya cenderung berpusing-pusing mengitari diri sendiri. Di sana-sini sekadar sebagai ungkapan yang merupakan pergumulan sepenggal, tidak utuh, dan tidak mempunyai gaung yang mampu merangsang orang untuk memberikan tanggapan.
Sebenarnya perlu kita akui, bahwa ada cukup banyak fragmen yang terserak-serak, yang merupakan buah pikiran reflektif sesaat, namun belum dipadukan dalam sebuah susunan yang menyatu.
Dalam keadaan "impasse" semacam itu diperlukan pemikiran terobosan yang bisa ditawarkan sebagai sebuah kemungkinan pengganti. Sebuah alternatif guna mengawali komitmen berteologi yang berangkat dari pengalaman nyata. Dan dengan demikian lebih punya kemungkinan untuk ditumbuhkan menjadi sebuah diskursus, untuk merangkai usaha berteologi lebih utuh dan berkesinambungan.
Untuk itu, melalui tulisan ini saya ingin mengemukakan beberapa aspek pemikiran tentang theologia religionum (teologi agama-agama) dan berusaha mengaitkannya dengan persoalan pluralisme agama. Pengantar umum ini tidak akan dimulai dengan definisi ketat, namun lebih akan memberikan ilustrasi tentang perlunya memulai sebuah diskursus teologi. Dengan cara memaparkan masalah serta pilihan-pilihan yang kita hadapi sejelas-jelasnya. Saya sendiri berharap bahwa pemikiran-pemikiran yang akan ditawarkan dalam tulisan ini cukup mampu memberi pijakan pada upaya terobosan untuk mencari kemungkinan lain dari kehidupan berteologi yang pengap seperti yang terjadi di tengah kehidupan gereja-gereja sekarang ini.
Tantangan Pluralisme
Pertanyaan yang hendak kita pergumulkan bersama adalah, tantangan pokok macam apakah yang dihadapi oleh agama-agama sekarang ini? Dan bagaimana tantangan tersebut telah memberi dampak pada agama-agama; serta bagaimana agama-agama memberi respons terhadap tantangan tersebut? Perubahan-perubahan apakah yang telah terjadi, dan bagaimana perubahan itu mempengaruhi pola pikiran, institusi dan kegiatan agama-agama? Bagaimana pula tantangan tersebut akan mewarnai masa depan dari agama-agama serta hubungan antaragama?
Tantangan keagamaan yang mendasar yang kita hadapi sekarang ini bisa kita ungkap dengan satu kata, yaitu pluralisme. Tidak ada maksud untuk mengatakan bahwa pluralisme merupakan satu-satunya tantangan, akan tetapi bila tantangan tersebut tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka agama-agama akan kehilangan persepsi yang benar tentang dunia dan masyarakat di mana mereka hidup. Pluralisme telah menjadi ciri esensial dari dunia dan masyarakat sekarang. Dunia telah menjadi satu dan menjadi sebuah kampung kecil di mana umat manusia hidup bersama di dalamnya. Kelompok-kelompok masyarakat hidup saling berhubungan, saling tergantung satu terhadap yang lain. Jaringan komunikasi telah menembus tembok-tembok yang tadinya mengisolasi kelompok-kelompok agama di masyarakat.
Pluralisme bukan sekadar multiplikasi kepelbagaian, bukan hanya ekstensif, akan tetapi kualitatif. Pluralisme masa sekarang, jenis, bentuk dan isinya berbeda dengan pluralisme yang kita alami di masa lampau. Pluralisme masa lampau menuntut suatu respon kerukunan, ko-eksistensi, dan keserasian hidup dari kelompok-kelompok agama di masyarakat. Corak kepelbagaian itu bersifat pasif, kalau kita mendatanginya kita baru mengalaminya; akan tetapi pluralisme sekarang ini bersifat sangat aktif, kalau kita tidak mempedulikannya maka kita akan digilasnya.
Pluralisme di masa sekarang terjadi karena tiap-tiap kelompok itu sudah mengalami proses emansipasi sedemikian rupa, sehingga setiap bagian itu sudah melakukan emansipasi bersama, dan tampil bersama secara setara. Tidak ada orang bisa bilang bahwa sesuatu pihak tak punya hak untuk tampil. Dengan demikian bisa dikatakan, bahwa pluralisme jenis yang sekarang ini tampil bersama dengan kesadaran emansipatoris dari setiap kelompok yang ada di masyarakat. Kenyataan semacam ini melahirkan urgensi baru untuk memahami serta menanggapinya secara baru.
Juga secara kuantitatif, pluralisme di masa sekarang jumlahnya lebih banyak dan lebih kompleks dibanding dengan yang ada di masa lampau. Ini yang disebut multiplikasi kepelbagaian. Muncul kombinasi-kombinasi serta berbagai bentuk campuran dari berbagai agama yang muncul yang menambah jumlah kelompok-kelompok agama tersebut, baik secara intern maupun ekstern. Di satu pihak kita melihat jumlah denominasi gereja bertambah, teapi jumlah agama bertambah pula. Ada gejala yang kita sebut "New Age", ada begitu banyak "sekte-sekte" sempalan yang merupakan campuran dari berbagai macam agama, dan juga kombinasi agama dengan berbagai bentuk ideologi.
Respon Terhadap Tantangan Pluralisme
Pertanyaan mendasar yang dihadapi dalam mencari format teologi yang memadai untuk menghadapi pluralisme adalah "apa arti kenyataan pluralisme tersebut bagi gereja-gereja?" Theologia religionum pada dasarnya merupakan upaya dari dalam komunitas keagamaan tertentu untuk melakukan refleksi atau pemikiran yang runtut tentang kesadaran baru sebagai upaya untuk memberi respon terhadap persoalan pluralisme tersebut. Theologia religionum tak lain adalah upaya refleksi teologis untuk menempatkan pluralisme sebagai pusat perhatian dan pusat persoalan.
a. Intern dan ekstern
Guna menyusun sebuah theologia religionum yang mempunyai pijakan pada realitas, maka kita perlu menunjuk pada dua faktor yang akan menentukan corak pemikiran teologis yang hendak kita bangun. Yang pertama adalah faktor intern (gerejawi) dan yang kedua faktor ekstern (kehidupan agama-agama secara umum).
Pada tataran intern gerejawi, Theologia Religionum merupakan upaya untuk mencari makna teologis dari pluralisme agama-agama tersebut. Ini sebenarnya merupakan tugas esensial dari upaya setiap kelompok agama untuk membuat dirinya relevan dengan keadaan, dengan kata lain ia merupakan wujud dari apa yang selama ini disebut sebagai teologi kontekstual. Yang menyangkut kehadiran agama tertentu di masyarakat. Sedang pada tataran eksternal bisa dikatakan, bahwa theologia religionum merupakan respon kita terhadap keseluruhan masa depan dari masyarakat maupun masa depan agama-agama.
Hubungan-hubungan agama di masa lalu terlalu terbatas dalam hubungan yang bercorak pasif. Kita menyongsong suatu hubungan yang lebih aktif dan yang bisa membuahkan kerja sama yang lebih erat demi masyarakat yang kita kehendaki bersama. Di sini kita dituntut untuk berpikir lebih positif tentang agama-agama. Bahwa masa depan menjadi masa depan bersama (dan masa depan yang sama) dari semua permasalahannya itulah yang akan mempengaruhi dan membentuk sebuah theologia religionum.
Pada dasarnya, upaya ini merupakan antisipasi bersama terhadap masalah-masalah dan harapan-harapan bersama tersebut. Seluruh kerangka dari theologia religionum ini tak bisa kita pisahkan dari komitmen kita terhadap masa depan bersama itu. Dan juga sekaligus merupakan cara untuk mengoreksi hubungan-hubungan yang telah terjadi di masa lalu. Untuk mengatasi persoalan-persoalan antaragama yang terjadi di dalam sejarah masa lalu. Jadi, dalam banyak hal theologia religionum merupakan sebuah langkah pembaruan hubungan. Basis spiritual dan intelektual dari tugas kerja sama itulah yang hendak dirumuskan dalam theologia religionum.
b. Persoalan kebenaran
Menyusun sebuah theologia religionum tidak bisa dipisahkan dari upaya yang berhubungan dengan perhatian kita tentang kebenaran. Itu berarti, bahwa kita semua harus berakar kepada rumusan tentang kebenaran yang sudah dihasilkan dalam sejarah oleh tokoh-tokoh pemikir teologi dalam seluruh sejarah di masa lalu. Juga seluruh pengalaman serta persoalan yang belum selesai dirumuskan di masa lampau. Kebenaran itu menjadi benang merah dari kehadiran agama-agama tersebut, ia tidak bisa diputuskan dan harus tetap terpelihara. Ia bukan merupakan tema yang baru akan dirumuskan, tetapi merupakan tema lama yang akan dirumuskan ulang dalam konteks yang baru.
Kebenaran itulah yang menjadi dasar dari kehidupan komunitas agama tersebut. Dari tradisi tersebut, kita menemukan kriteria untuk berbicara tentang kebenaran dalam konteks yang baru tersebut. Aspek yang penting dari kebenaran itu adalah aspek kritis-profetis yang tersimpan dalam perbendaharaan agama tersebut. Dengan kata lain, suatu aspek, yang terus-menerus harus ditumbuhkan untuk mencari kemungkinan lain dalam konteks pluralisme yang serba beragam tersebut.
Dengan aspek kritis dari kebenaran tersebut, maka ia akan selalu terus mencari dan melakukan eksplorasi yang tak ada habis-habisnya. Dengan demikian, aspek utama theologia religionum sebenarnya adalah karakteristik yang kritis tersebut. Sudah barang tentu, semuanya itu harus diterjemahkan dan, diperkembangkan dari inti iman yang diakui bersama dalam setiap komunitas keagamaan tersebut.
Perumusan Theologia Religionum
Sebelum kita melakukan eksplorasi lebih lanjut, kita kembali kepada pertanyaan utama, "kenapa kita justru membutuhkan sebuah theologia religionum dan bukan teologi yang lain? Bukan teologi dogmatik yang lebih umum dan menyeluruh, atau teologi yang bergerak pada sektor-sektor kehidupan yang lain. Kenapa tantangan pluralisme kita anggap sebagai tantangan utama bagi agama pada zaman ini?" Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa jawaban yang bisa kita kemukakan:
a. Apresiasi aktif
Barangkali akan lebih mudah untuk membahas pluralisme secara menyeluruh apabila agama-agama bisa menemukan suatu "independent criteria" yang bisa diterima bersama. Namun, agaknya hal itu tidak mungkin. Kita tidak mungkin menemukan "independent criteria" tersebut, karena tidak ada kriteria objektif yang berlaku universal untuk semua agama, yang bisa diterima oleh semua dari semua agama. Oleh sebab itu, langkah utama yang harus dilakukan adalah memulai tugas ini dari setiap individu agama sebagai sebuah refleksi kritis yang sifatnya subjektif.
Suatu pemahaman yang sungguh-sungguh tentang makna pluralisme hanya bisa diselenggarakan dari dalam. Oleh sebab itu, tak bisa tidak, ia menuntut sebuah pendekatan teologis. Kita perlu memulainya dengan kesadaran tentang kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri kita sendiri dalam seluruh tradisi yang kita kenal selama ini guna merumuskan makna teologis dari agama-agama dan agama kita sendiri. Kita terpanggil untuk mengambil inisiatif untuk melakukan suatu "apresiasi aktif" terhadap agama-agama lain.
Berdasarkan tradisi pemikiran teologis yang kita miliki, kita harus berupaya merangkum dan menempatkan tradisi keagamaan lain secara positif berdasarkan kepada keunikan kita menggambarkan makna dari pluralisme keagamaan tersebut. Yang bisa dihasilkan dari upaya ini adalah sebuah model yang mungkin cocok untuk model lain yang bisa dikembangkan oleh komunitas agama lain. Model yang bisa memberikan inspirasi bagi semua pihak. Jadi, ini merupakan langkah yang mempertaruhkan seluruh kehadiran kita dalam konteks pluralisme tersebut. Tawaran untuk mempercakapkan kehadiran agama-agama di masyarakat secara baru.
Upaya ini tidak menunggu, akan tetapi suatu refleksi dari urgensi kebutuhan kita untuk membuka sekat-sekat yang ada pada diri kita sendiri, serta untuk meruntuhkan prasangka-prasangka lama dalam diri kita sendiri, baik di masa lampau maupun sekarang ini. Tidak mempersoalkan kesiapan dari pihak lain, tetapi untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan kita sendiri.
Ini merupakan cara membongkar bangunan lama yang tidak cocok lagi, karena ia mengisolasi diri kita selama ini. Teologi semacam ini akan menjadi upaya untuk membangun jembatan yang baru yang didasarkan pada kriteria dan idiom kita sendiri, untuk membuat evaluasi kembali dalam menghadapi dan menilai, mengoreksi cara kita memandang agama-agama lain. Dengan itu, kita lebih respek kepada tradisi keimanan yang lain.
b. Titik tolak trinitas
Theologia religionum berdasar kepada totalitas ajaran keimanan Kristen. Kontras antara tekanan partikularitas dan universalitas selalu merupakan ketegangan abadi dari agama-agama. Dan kedua kutub tersebut selalu menjadi ciri ketegangan yang kreatif dalam agama. Keduanya tidak bisa dipungkiri dan disisihkan, karena keduanya merupakan bagian yang inhern pada setiap agama. Dan theologia religionum juga harus memainkan perannya dan perumusannya dalam rangka ketegangan kreatif antara dua kutub tersebut.
Memang, hanya bisa kita katakan bahwa theologia religionum akan merupakan tekanan yang besar kepada aspek universalnya, tanpa melupakan segi-segi keunikannya. Atau dengan kata lain, keunikan agama tidak disanggah, akan tetapi dia dilihat dalam perspektif universalnya. Inilah yang kiranya merupakan "yardstick" dalam mengungkap theologia religionum itu. Yaitu ajaran tentang universalitas agama itu.
Dalam rangka ajaran Kristen tentu kita akan segera bertemu dengan ajaran trinitaris, yaitu bagaimana kita mengungkapkan relevansi dari ajaran tentang Tuhan Bapa, Tuhan Anak, dan Tuhan Roh Kudus itu dalam menilai harga agama-agama non-kristen. Baiklah, untuk sementara kita sisihkan dulu Roh Kudus karena soal itu barangkali akan jauh lebih "mudah" kita lakukan.
Pertanyaan yang utama dalam ajaran Kristen adalah bagaimana kita menempatkan dan memikirkan hubungan antara kristologi dan teologi. Kristologi kita anggap sebagai bagian dari keunikan partikularit sedang teologi bagian dari universalitas. Soalnya adalah, bagaimana kita menafsirkan kristologi secara baru sehingga mampu memberi tempat kepada agama-agama? Secara umum bisa kita katakan, bahwa kristologi yang ada tidak dirumuskan dalam konteks pluralisme agama-agama seperti yang sekarang ini. Mungkin, di sinilah tepatnya kita mengatakan bahwa yang kita butuhkan adalah teologi agama-agama dan bukan kristologi agama-agama. Sebab, tekanan yang hendak kita berikan adalah universalitas itu.
Maksudnya di sini bukan berarti bahwa kristologi itu harus kita gantikan dengan teologi atau sebaliknya, karena keduanya bukan alternatif satu terhadap yang lain. Keduanya justru merupakan bagian yang saling melengkapi. Pilihan kita bukan salah satu apakah kristologi harus diganti dengan teologi, karena kristologi memang mempunyai corak yang eksklusif. Teologi memang bisa menerobos kelemahan dan keterbatasan tertentu. Lalu, keduanya diterobos dengan pneumatologi.
Semua itu bukan menggantikan, mengabaikan, atau menampik satu terhadap yang lain, seperti yang banyak diusulkan para teolog pluralis. Yang kita butuhkan adalah, bagaimana kita mengerjakan kristologi atau teologi atau pneumatologi, sehingga menjadi "christology of religions" atau "theology of religions" atau "pneumatology of religions". Apapun namanya, semua itu harus merupakan langkah apresiasi terhadap pluralisme agama-agama. Menciptakan ruang untuk menghargai agama lain untuk menghormati agama lain. Semuanya harus dilakukan untuk tidak mengulangi kesalahan dan indeferensi yang lama. Mungkin bagi pemikir teologi Kristen, cukup untuk mengatakan bahwa theologia religionum yang baik dan memadai adalah yang bercorak trinitaris.
c. Soteriologi
Kecuali soal kebenaran yang unik dan universal tersebut, soal lain yang sangat penting adalah soal soteriologi. Di sini bisa dipertanyakan kembali: sampai seberapa jauh sebenarnya pemahaman mengenai keselamatan itu memberikan corak tertentu pada teologi kita, dan bagaimana hubungannya dengan soal kebenaran itu? Bagaimana kristologi dan teologi yang mengklaim kebenaran itu menempatkan agama-agama dalam kerangka besar keselamatan umat manusia?
Di sini kita bergumul dengan kemungkinan untuk menerobos bentuk-bentuk teologi dan kristologi yang kaku dan memberikan ruang yang bebas dan positif untuk mengakui kehadiran dan nilai agama-agama itu dalam pemahaman soteriologi kita. Dan pemikiran kita mengenai Roh Kudus juga tidak banyak dikaitkan dengan soal soteriologi ini. Mungkin, jikalau pneumatologi ini sudah kita kaitkan dengan soteriologi, maka kristologi dan teologi akan bisa diatasi dengan baik. Sehingga, kita tidak berbicara tentang teologi atau kristologi agama-agama, melainkan pneumatologi agama-agama, di mana di dalamnya dan melalui pengakuan itu kita menerima agama-agama selaku kehadiran Roh yang menyelamatkan.
Selama ini, mungkin karena tekanan kita terlalu berat kepada teologi agama-agama maka, ada banyak kritik yang mengatakan bahwa ini hanya menyangkut agama-agama "wahyu" saja, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Sedang agama-agama Timur lainnya, seperti Hindu, Budha dan Konfusianisme tidak mendapat tempat sewajarnya, kecuali ada pemaksaan tertentu. Mungkin di masa depan pneumatologi ini akan merupakan terobosan baru bagi upaya untuk merangkum agama-agama.
Soteriologi memberi horizon yang lebih konkret. Ia merupakan sambungan antara doktrin dan praksis. Setidak-tidaknya, ia merupakan gabungan antara kerangka teoretis yang bisa mempertemukan doktrin dan etika, serta bisa memberikan titik pijak yang memberi tekanan kepada soal etika menjadi penting. Titik perhatian yang khusus dan terfokus di sana.
Teologi agama-agama harus diabdikan kepada upaya untuk mengkonkretkan iman kepercayaan, untuk membangun kehidupan manusia yang lebih baik. Kebenaran menjadi konkret dalam kenyataan kehidupan. Soal dogmatis dan kebenaran bukan tidak penting, tetapi justru sebaliknya, yang hendak dituju adalah ungkapan praksis dari hubungan antaragama itu. Paul Knitter telah berusaha dalam bukunya "NO OTHER NAME?" untuk mengeksplisitkan suatu konsern tentang kebenaran digabung dengan komitmen etika. Ini merupakan suatu langkah yang harus terus-menerus dijajagi.
Kebenaran telah dijadikan satu dengan kebajikan. Roh telah menjadi daging. Antara creed dan deed antara doktrin dan tingkah laku, antara teori dan praksis, antara iman dan buah-buahnya, antara ortodoksi dan ortopraksis, telah dipersatukan. Demikian juga perlu dipikirkan untuk menciptakan suatu pemikiran yang lebih utuh tentang hubungan antara wahyu (revelation) di satu pihak dengan soteriologi di pihak lain. Pengabsahan akan berlakunya pernyataan Tuhan (revelation) akan memberikan implikasi yang positip pula kepada gagasan tentang keselamatan yang ada dalam agama-agama.
d. "Self understanding"
Agaknya tidak usah disangsikan, bahwa semua agama perlu membuat versi theologia religionum sendiri yang terbuka dan positif. Hal itu tak bisa dihindari, karena dunia majemuk dan agama yang majemuk yang meliputi seluruh dunia. Kenyataan global ini menantang semua agama serta menuntut mereka untuk mengklarifikasikan dan menjelaskan sikap mereka satu terhadap yang lain. Agama secara individual dituntut untuk menjelaskan secara baru sikap yang baru untuk menciptakan attitudes yang baru terhadap yang lain.
Jadi, ia merupakan suatu re-interpretasi terhadap agama-agama, dan di pihak lain merupakan suatu "self understanding" yang baru bagi gereja-gereja dan umat Kristen. Ia berfungsi ke dalam umatnya sendiri, dan berfungsi sebagai jembatan untuk melangkah keluar yang menghubungkan umat sesuatu agama dengan umat beragama lain yang punya tradisi pemikiran keagamaan yang berbeda. Ia melakukan penyempurnaan dan koreksi terhadap stereotip yang lama yang cenderung menciptakan konflik yang sia-sia.
Tantangan peradaban, respons gerejawi
Pertanyaan yang bisa kita kemukakan adalah: apakah yang khas yang akan terjadi dalam milenium yang ketiga ini? Tantangan apa yang bakal muncul yang berbeda dengan dua ribu tahun yang sudah berlalu? Konsentrasi kita memang pada pluralisme. Kita diperhadapkan dengan soal keperbedaan, kemungkinan lain serta alternatif yang lain yang ditawarkan begitu banyak. Dan kita harus memberi respon yang memadai. Kita bukan hanya akan mengubah, tetapi juga diubah oleh perubahan yang sedang terjadi. Dan, ini merupakan tantangan kita untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kedatangan milenium yang ketiga itu.
a. Tantangan milenium ketiga
Pada milenium ketiga, kita ditantang untuk memberi makna kepada apa yang disebut "religious otherness" itu. Dalam ribuan tahun yang pertama, kita melihat dalam sejarah bahwa keperbedaan agama telah melahirkan suatu masa panjang yang amat pahit. Yaitu masa intoleransi dan masa inkuisisi (persecution) yang amat panjang dan amat "sadis" dalam sejarah kemanusiaan.
Dalam ribuan tahun yang kedua kita melihat masalahnya sebagai sedikit lebih beradab, sekalipun semuanya masih berakar kepada adu kekuatan baik fisik maupun mental. Semuanya masih diukur dengan menang atau kalah. Ada banyak kematian yang terjadi, akan tetapi terutama "theological killing" menjadi corak utama dari ribuan tahun yang kedua dari sejarah manusia beragama.
Sedang dalam milenium ketiga kita menghadapi sesuatu yang lain, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana kita tetap menjaga identitas kita tanpa meremehkan, dan bahkan bisa menghargai identitas keagamaan orang lain dan integritas agama orang lain. Ini cara yang sedikit banyaknya secara ideal lebih beradab sesuai dengan kemajuan peradaban manusia. Tanpa menekan dan mengeliminasi orang lain. Di sini kita dipaksa oleh keadaan perubahan, bahwa sikap intoleransi dan sikap perang agama dianggap sebagai hal yang tidak beradab, tidak berkebudayaan, atau minimal akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu tata krama bermasyarakat. Tentu perkembangan masyarakat semacam ini akan turut mempengaruhi dan bisa menjadi semacam rem alamiah bagi konflik-konflik yang akan meletup.
Kian disadari pada masa sekarang ini, bahwa masalahnya bukan mengalahkan orang lain, akan tetapi bagaimana tetap bertahan dan melakukan perubahan dari dalam, dan hidup sebagai manusia yang beradab. Dalam masyarakat majemuk kontemporer sekarang ini, ada banyak produk hukum yang melindungi hak-hak asasi serta melindungi integritas dari keyakinan yang tak bisa dilecehkan dengan bebas begitu saja. Sikap pelecehan agama perlu diatur dalam hukum.
Peradaban kita sekarang memang telah sampai kepada upaya bersama untuk saling menghormati satu sama lain. Semua itu berlawanan dengan konteks hidup modern. Kita melihat ada banyak beban sejarah yang melekat pada kehidupan keagamaan kita sekarang ini. Sebagai contoh, sinode Dutch Reformed Church di Belanda masih memuat dalam keputusan sinodenya tahun 1986 yang mengatakan "agama Islam adalah agama sesat (palsu) dan berbahaya mengancam secara serius terhadap kekristenan dan kemanusiaan".
Oleh sebab itu, agama Islam harus diwaspadai. Di sini kita melihat bahwa beban yang diwariskan oleh cara pandang kolonial masih melekat pada sebagian dari gereja-gereja di Barat. Dan contoh lain adalah pengakuan (semacam Anggaran Dasar) gereja HKBP yang sampai sekarang masih menyelipkan kepedihan dari sentimen keagamaan dari abad ke-16, semasa Marthin Luther, dengan tetap mempertahankan kecurigaan negatip terhadap gereja Katolik. Di sini kita melihat bahwa hubungan negatip Islam-Kristen belum juga selesai selama 13 abad. Dan di kalangan Kristen sendiri membutuhkan waktu lebih dari 5 sampai 6 abad untuk memikirkan corak hubungan yang lebih baik dari abad ke-16. Hal-hal seperti itu tentu harus dipikirkan ulang dan diganti dengan sikap dan rumusan yang lebih cerdas dan beradab.
Dengan kenyataan seperti itu, maka bisa kita katakan bahwa ada begitu banyak pernyataan mengenai agama lain diterbitkan, seolah-olah penganut agama lain itu tidak ada, atau tidak mendengar apa yang ditulis dalam pernyataan tersebut. Seolah-olah seperti pengadilan "in absenstia". Seolah-olah dalam agama lain tidak ada ahli dalam agama itu, sehingga dipandang dengan mata memicing sebelah. Bahkan tidak dibayangkan bahwa akan ada orang lain yang akan membaca dan memberi tanggapan, mereka dianggap tidak ada, sehingga tulisan mengenai agama lain itu sama sekali bersifat tidak dialogis.
Dirumuskan dengan mengandaikan ketidakhadiran penganut agama lain. Mereka dianggap "absent" bahkan "non-exist". Dan cenderung memaksakan persepsi dari penulis terhadap agama lain tersebut. Dengan itu memang sulit dicapai apresiasi positif dan aktif terhadap agama lain. Dan tak diberi kesempatan internal dari refleksi terhadap agama lain untuk memikirkan reaksi yang mungkin timbul, bahwa apa yang dinyatakan tersebut mempunyai dampak, baik kepada dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Dalam menyusun pernyataan mengenai agama lain maka kehadiran umat beragama lain sungguh tidak dipikirkan secara serius. Tidak diandaikan, bahwa mereka juga kritis terhadap pernyataan itu. Sehingga, tak ada proses pertumbuhan untuk ruang berpikir yang baru, yang bisa keluar dari persepsi berdasarkan pengalaman yang baru mengenai pluralisme. Karena itu, sampai sekarang kita belum bisa keluar dari jenis literatur teologi yang pada dasarnya bersifat antitetis, polemis dan apologetis.
Jadi, dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa metode dari perumusan theologia religionum dilakukan dengan mengandaikan kehadiran orang lain tersebut dalam proses. Dengan demikian ada suatu "dialog" yang terjadi secara internal. Hanya dengan cara itu, maka akan dilahirkan theologia religionum yang berbobot dan yang benar-benar berpijak kepada kenyataan, dikontrol dan diawasi. Sehingga bisa menjadi bahan percakapan yang produktif dan membuahkan hasil positif.
b. Tantangan eksklusifisme (Barth, Kraemer)
Kita menghadapi kristologi yang kolonialistis dan imperialistis, tetapi kita juga menghadapi godaan yang sama dari jenis teologi universal yang pada dasarnya sangat paternalistis dan eurosentris. Seolah-olah seluruh pengalaman rohani dan intelektual keagamaan harus dijabarkan dalam paradigma yang bercorak Barat dan universal. Sebab jelas, bahwa kritik India dari Smith untuk memindahkan aksen dari kristologi ke teologi. Namun, teologi Smith sendiri mengandung kelemahan yang sulit diatasi, khususnya dalam menghadapi agama-agama Timur seperti Hindu yang politheistis, Budha yang non-theistis (tidak mengandalkan diri pada paradigma mengenai Tuhan), dan Konfusianisme, dan khususnya juga ideologi yang sekularistis yang tidak membicarakan Tuhan dalam tata pikirnya.
Bagaimana juga bisa diakui bahwa teologi universalnya W. Cantwell Smith bisa mengatasi eksklusivisme tokoh-tokoh lama seperti Barth dan Kraemer, dan memberikan suatu pijakan pemikiran yang baru? Jelas-jelas dalam pemikiran teologi Kraemer, kristologinya merupakan suatu "bentuk imperialisme keagamaan" (fasilitas agama). Yang menunjukkan arogansi dan sikap yang sangat partikularistis, dan hal itu dengan efektif ditembus oleh orang seperti Smith dan John Hick yang mengatakan bahwa ada suatu "revolusi berpikir" dalam masyarakat pluralistis ini, yaitu dari "geosentrisme" (baca: kristosentrisme) kepada "heliosentrisme" (baca: theosentrisme). Paradigmanya berubah dari eksklusivisme ke arah pluralisme.
Kristologi semacam itu tidak bisa lagi dipakai untuk menilai secara positif agama-agama lain. Upaya mencari kebenaran menjadi upaya penghakiman agama yang memutuskan hubungan. Smith menunjuk, bahwa yang penting adalah keimanan kepada Tuhan, dan bukan kepada Kristus yang juga beriman kepada Tuhan. Jadi sumbangan pemikiran teologi Smith saya kira secara efektif telah mampu mengoreksi kelemahan dan keterbatasan dari teologi krisis atau neo-orthodoksi, atau teologi dialektisnya Barth dan Kraemer.
Kita tidak memakai argumen bahwa teologi kritis tersebut dibentuk dan dibuat pada zaman sebelum perang Dunia II, yang untuk masa pluralisme sekarang sudah tidak relevan. Kelemahan Smith adalah kelemahan yang inheren pada setiap bentuk teologi yang dibuat untuk menjawab pertanyaan dan problem yang khusus, di sana kekuatannya dan sekaligus kelemahannya.
Semua itu dikemukakan oleh antara lain George Chemparaty dalam artikelnya "Dialectical Theology and Non-Christian religions", kritik yang tajam kepada teologi dialektik yang bercorak negatip terhadap agama lain, berdasarkan kristosentrisme yang berlebihan. Kita harus mencari kemungkinan lain, kemungkinan yang berbeda dari posisi seperti itu. Pandangan tersebut, sekarang ini berinkarnasi pada fundamentalisme Kristen yang muncul dalam bentuknya yang lebih buruk dan lebih dangkal, yang menilai agama-agama hanya sebagai "anak-anak setan" yang menuju neraka. Karena itu, tak ada pengertian kontinuitas dan tak ada "point of contact" antara agama Kristen dan agama-agama non-Kristen.
Pandangan tentang wahyu juga memberikan pemahaman yang amat sempit mengenai soteriologi, dan cenderung terperangkap dalam mentalitas ghetto dalam kehidupan agama. Oleh sebab itu, pada hemat saya teologi dialektik harus ditolak sebagai pilihan yang tidak relevan dengan tatanan dunia plural sekarang, dan harus diganti dengan sesuatu yang baru, yang lebih berakar kepada pergumulan mengenai pluralisme agama.
Teologi krisis berhadapan dengan masalah totalitarianisme ideologi naziisme. Dan mengaplikasikannya kepada dunia agama-agama, dan dengan semboyan: "sola fide et solo christo". Dan anehnya, semua itu dilakukan tanpa pengetahuan secukupnya tentang agama-agama non-Kristen. Sehingga, terjadi ketimpangan yang mencolok dalam memahami agama-agama tersebut. Konteks dari teologi krisis tidak relevan lagi untuk diterapkan pada situasi yang sekarang, di mana prinsip emansipasi justru menempatkan semua kelompok masyarakat untuk mengambil bagian dalam pergaulan yang beradab dari umat manusia.
Sikap negatif (eksklusif) pada zaman sebelum Perang Dunia II dianggap sebagai nilai (value), sedang pluralisme dianggap sebagai problem; sedang di masa sekarang justru sebaliknya yang terjadi pluralisme dianggap sebagai nilai dan sikap eksklusif dianggap sebagai problem. Dengan perubahan paradigma dan pemahaman ini maka kita mencoba mencari tracee baru dan kemungkinan baru bagi perumusan theologia religionum yang baru.
c. Tantangan pluralisme ekumenis
Dalam tulisannya dalam buku "Christ's Lordship and Religious Pluralism" W. Cantwell Smith mengemukakan salah satu aspek yang perlu kita simak tentang pluralisme di kalangan Kristen. Dan ini merupakan kenyataan yang secara sungguh harus diperhitungkan. Kita melihat apa yang disebut kesadaran tentang "multiplicity of alternatives", yang dihadapi dalam konteks pluralisme yang sangat drastis dihadapi oleh semua warga masyarakat.
Situasi dunia, masyarakat, agama dan denominasi Kristen, Pluralisme dari eksegesis, dari model bergereja (organisasi) dari bentuk-bentuk kepemimpinan, dari kegiatan serta misi gereja, serta pemahaman tentang ajaran-ajaran yang dianggap ortodoks. "...that christian tradition is a religiously plural one...", bahwa tradisi kristen merupakan tradisi yang sangat majemuk, bukan sesuatu yang monolitik dan uniform.
Sehingga, yang kita hadapi adalah suatu pluralisme yang coraknya khusus. Dan eksklusifisme dalam kekristenan ini hendak dipecahkan dengan metode yang sama dengan cara menghadapi pluralisme yang ekstern, yaitu dengan mengembangkan dialog dan kerja sama antardenominasi. Dan eksklusifisme dianggap sebagai sesuatu yang immoral, dan merupakan ilusi dan heretic dalam arti yang sesungguhnya. Yang muncul dalam banyak sekte yang totalitarian dan sektarian. Theologia Religionum juga bisa berperan dalam hubungan semacam ini, sehingga sebuah theologia religionum sesungguhnya juga bisa memiliki peran yang bisa mengatasi soal hubungan antardenominasi dengan semangat yang lebih apresiatif. Ada banyak kesejajaran yang kita temui saat kita memikirkan persoalan hubungan antaragama dengan hubungan antargereja.
Dialog dan Kolaborasi Antaragama
Dengan theologia religionum dan dengan dialog akan dapat diciptakan jembatan untuk menciptakan dasar bagi kolaborasi antaragama. Theologia religionum bukan upaya untuk mengeluarkan (mengeksklusifkan) agama-agama lain, akan tetapi sebaliknya untuk membangun suatu jembatan kerja sama. Bukan untuk memilih mana yang benar dan mana yang salah, akan tetapi membangun sebuah diskursus untuk membangun kerja sama etika antaragama. Theologia religionum pada dasarnya adalah sebuah teologi untuk membangun dialog dan kerja sama antaragama. Perspektifnya adalah mengarah kepada kesimpulan yang bukan hanya prinsipal, akan tetapi menyangkut langkah nyata. Jadi, theologia religionum bermuara pada dua cabang yaitu dialog dan kolaborasi antaragama.
a. Dialog antaragama
Dialog antaragama adalah sebuah wacana yang tak bersifat teoretis belaka, akan tetapi menyangkut diskursus dari semua pemikiran yang mempengaruhi perkembangan dan mempengaruhi kehadiran dari agama-agama tersebut di masyarakat. Dialog itu terbentang sedemikian luas sejauh jangkauan cakrawala berpikir, sejauh jangkauan dari eksplorasi yang bisa terjadi dan juga menyangkut semua aspek kehidupan manusia yang bisa menjadi agenda yang bisa didialogkan bersama.
Tetapi, tentu yang menjadi fokus utama adalah menyangkut aktivitas di mana distorsi dari persepsi keagamaan yang ada di masing-masing pihak pada instansi pertama harus diluruskan dan dijernihkan. Sehingga, tidak bisa lagi dengan sengaja dilukiskan secara karikatural mengenai agama lain yang menyalahi, kesalahpahaman yang sengaja yang tak bersetuju dengan pandangan yang dimengerti dan diakui umat agama yang lain.
Dengan begitu, sebenarnya sebuah langkah dialog pada instansi pertama adalah sebuah langkah korektif terhadap distorsi tersebut. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah, bahwa tidak semua agama menghadapi persoalan yang sama, oleh sebab itu dalam mengemukakan jawaban juga tidak perlu sama. Dengan demikian, kenyataan tersebut justru akan memperkaya setiap agama yang melakukan dialog. Berdasarkan kelebihan dan kedalaman yang ada pada agama-agama yang berbeda tersebut.
Sudah barang tentu harus diingat pula kandungan misioner dari setiap agama, yaitu untuk memberlakukan klaim universal dari kebenaran yang diakuinya. Panggilan misioner semacam itu juga menjadi ajang komunikasi yang positif yang justru bisa memberikan kemungkinan bagi adanya dialog yang produktif. Jadi aspek apostolik dan aspek misioner dan profetik dari dialog itu pada dasarnya bukan untuk membela kebenaran sendiri, akan tetapi juga memberi dan menerima kesaksian kepada orang lain.
Gavin D'Costa dalam bukunya "Theology and Religious Pluralism" mengemukakan perlunya dikembangkan dua arah dari dialog, yaitu yang pertama: personal dialogue, anggota komunitas keagamaan secara pribadi dan informal, dialog antarpemeluk agama. Yang bisa membahas apa saja yang mereka agendakan. Dialog ini bersifat personal. Tidak atas nama komunitas resmi dan tidak mewakili mereka. I-Thou Relationship seperti model Martin Buber. Di pihak lain ada juga model dialog yang kedua yang lebih resmi yang merupakan dialog institusional. Yang merupakan wakil resmi dari agama tersebut. Dialog model ke dua ini lebih resmi. Dua hal ini perlu dilakukan secara bersama.
b. Kolaborasi antaragama
Soalnya adalah, bagaimana menghasilkan buah-buah iman yang berguna bagi orang lain? Bukan sendiri-sendiri, akan tetapi bersama-sama. Aspek praksis dari kerja sama antaragama ini merupakan "jalur ke luar" dari kebutuhan yang bisa terjadi dalam dialog teoretis antaragama. Karena kita selalu terganggu dengan kenyataan yang mungkin terjadi, bahwa memang mustahil untuk menjadikan salah satu agama menjadi pengganti dari agama-agama yang banyak itu, dan juga ketika kita gagal membuat suatu agama kita menjadi benar-benar universal, maka sendi-sendi etika bisa ditawarkan sebagai kemungkinan lain. Bukan doktrin yang mencakup semua agama, akan tetapi pada tingkat etika kita bisa mengajukan proposal bersama dari kerja sama antaragama.
Jadi, ada kemungkinan bahwa konsern etika dan yang lebih praktis ini justru mampu melahirkan suatu platform yang lebih luas daripada basis yang bercorak teoretis. Apabila teologi universal telah mencapai perkembangannya yang terakhir dan tidak bisa dikembangkan lagi, mentok, maka dimensi etika ini justru masih bisa melakukan eksplorasinya sendiri. Praksis justru terbentang luas tanpa batas. Jadi dengan kata lain kita tidak lagi memimpikan adanya suatu "common religion for common humanity", akan tetapi masih bisa melakukan kemungkinan kolaborasi antaragama dalam bidang etika. Kita bisa berbicara tentang "common problem and common mission".
Kita menyadari bahwa mungkin sulit untuk menciptakan suatu "universal theology of religion" yang bisa mencakup dan diterima oleh semua agama. Sudah banyak kritik terhadap pretensi semacam itu. Karena, dengan itu keunikan dari agama-agama kemungkinan akan digilas dan dibypass, dan cenderung mengecilkan makna dari pluralisme itu sendiri. Sebab, theologia religionum bukan dimaksudkan untuk mengatasi perbedaan antara agama, akan tetapi hanya memberi makna positif terhadap agama-agama tersebut.
Sehingga, keperbedaan tersebut benar-benar secara positif diterima sebagai berkah dan anugerah Tuhan. Partikularitas agama-agama tersebut tidak dihilangkan. Teologi universal tersebut memang harus diakui keterbatasannya, yaitu sejauh ia diterima secara sah sebagai ungkapan dari kelompok sesuatu agama untuk menghargai agama lain dengan caranya sendiri dan terbatas pada konteksnya sendiri. Tetapi tak bisa diklaim sebagai (...?) dengan sendirinya relevan untuk konteks yang lain. Untuk itulah, maka dimensi etika lebih muncul sebagai option atau pilihan yang lebih bersifat "universal". Aksen pada etika akan jauh lebih memiliki potensi perubahan dibanding dengan aksen yang bersifat teoretis. Khususnya untuk konteks di Indonesia. Tetapi, hal itu hanya bisa terjadi apabila didukung oleh sebuah teologi yang bersifat terbuka dan apresiatif terhadap iman kepercayaan lain. Bahkan, bisa dikatakan bahwa kerja sama yang sungguh-sungguh tak mungkin dilakukan tanpa suatu sikap fundamental yang positif terhadap agama lain.
Tujuan khusus yang hendak dicapai dalam upaya merumuskan theologia religionum di Indonesia adalah agar gereja-gereja secara teologis bisa merumuskan solidaritasnya, rasa hormatnya, serta rasa senasib sepenanggungan untuk menghadapi persoalan bersama di masa depan, serta bisa menjalin kerja sama yang erat antara semua orang yang beriman.
Di sinilah kegunaan dari theologia religionum dalam melengkapi umat untuk mampu masuk dalam kerja sama antaragama secara produktif. Malahan ia merupakan fungsi untuk mendukung kerja sama tersebut. Hal itu merupakan proses internalisasi dari umat beragama untuk mampu berhadapan secara terlengkapi dengan bekal suatu dasar teologis menerima orang lain sebagai mitra kerja.
Theologia Religionum dan Agama Transformatif
Dalam bentuk semacam itu maka agama akan menjadi agama transformatif yang bisa memberikan ilham bagi semua orang. Memberikan harapan, moral yang tinggi dan kesadaran yang mendalam kepada warga masyarakat. Di situ, agama menjadi agama yang mempunyai kekuatan transformatif dan kreatif bagi masyarakat. Ini merupakan bagian inti profetik agama-agama menjadi potensi agama-agama mampu tampil bersama-sama selaku pemberi alternatif dan selaku penerang bagi masalah kemanusiaan sekarang ini.
Yang dibutuhkan bukan pandangan eksplisit saja, akan tetapi juga aplikasi dari doktrin keagamaan dalam kenyataan kontemporer sekarang ini. Penjabaran dari doktrin keagamaan dalam praksis politik, ekonomi dan kebudayaan dan segenap bidang hidup itulah yang akan memberikan corak transformatif dari kehadiran agama.
Jadi Theologia religionum harus disusun sedemikian rupa, sehingga memiliki posisi yang benar-benar komited kepada perubahan masyarakat. Dan juga memberi solidaritas kepada mereka yang menjadi korban dari tingkah laku masyarakat sekarang ini. Sebuah theologia religionum tak akan banyak gunanya apabila itu terisolasi dari komitmen untuk menegakkan keadilan, dan lain-lain masalah yang mencuat sekarang ini.
Teologi tidak bisa dirumuskan sedemikian rupa, sehingga bisa menjadi penghalang untuk menghargai iman orang lain. Pernyataan negatif dan yang sudah menyatu dengan seluruh sistem dogmatik kita yang bercorak polemis-apologetis. Baik yang termuat dalam kitab-kitab pelajaran agama, dalam kidung-kidung pujian, dalam liturgi, maupun dalam ajaran-ajaran gerejawi yang memberikan keterangan negatif tentang iman kepercayaan orang lain. Yang pada dasarnya memang merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap agama yang lain, atau yang dianggap suci oleh agama lain. Dalam konteks kehidupan masyarakat sekarang, hal tersebut telah menyerang kehormatan dan integritas orang lain.
Akhirulkalam (kesimpulan)
Dalam upaya memaparkan persoalan serta alasan untuk merumuskan theologia religionum tersebut di atas, bisa kita simpulkan bahwa dengan memikirkan pluralisme, dialog serta kerja sama antaragama, kita memperoleh horizon serta langit yang baru untuk memikirkan kembali secara menyeluruh pemikiran teologi kita. Dengan demikian, kita memperoleh pijakan untuk membangun sebuah kemungkinan lain dari cara kita berteologi, bergereja dan mengembangkan cara kita beragama secara menyeluruh.
Theologia religionum adalah cara untuk memperluas cakrawala dan langit-langit berpikir kita lebih luas dan lebih tinggi. Dengan kata lain, upaya untuk merumuskan theologia religionum menjadi identik dengan upaya pembaruan teologi itu sendiri, yang tentu nanti ada implikasi dalam seluruh kehidupan gereja. Pembaruan teologi adalah identik dengan upaya theologia religionum karena konteks yang paling menantang dari kehadiran Kristen adalah konteks dari pluralisme dan pertemuan antaragama . Theologia religionum merupakan "ujung tombak" dari pembaruan gereja dan agama di masa sekarang ini.
Saya berharap, pembahasan theologia religionum ini bisa menjadi titik tolak bagi langkah terobosan kita untuk membongkar kemacetan kehidupan teologi kita, dan di pihak lain bisa memberikan langkah baru untuk menciptakan kehidupan beragama yang lebih produktif dan lebih manusiawi.

dasar dasar hidup berteologia

Berteologi atas Dasar Cerita
Pertanyaan yang kemudian diajukan di sini adalah, jika metode menganalisa sebuah cerita dipakai untuk mengerti relasi antara orang percaya dengan Tuhan secara pribadi, bagaimana sebenarnya seseorang mempelajari Alkitab? Pendekatan narasi memang memberikan sebuah proposal bahwa pemahaman teologi dapat dibangun berdasarkan pemahaman dan penghayatan sebuah cerita di dalam sebuah konteks budaya tertentu. Jika seseorang membaca sebuah cerita, maka ada kemungkinan inti berita yang ada di dalamnya tidak dipahami, namun cerita tersebut tetap akan memberikan pengalaman khusus yang tidak sama dengan orang lain ketika membaca cerita yang sama. Kondisi semacam ini sebenarnya sangat berharga baginya karena makna cerita itu mengakibatkan perubahan hidup dan membawanya kepada cakrawala hidup yang lebih terbuka. Dengan kata lain, cerita dapat digunakan sebagai sarana penyampaian iman.
George Lindbeck mengatakan bahwa pengaruh metode narasi semacam ini terhadap pemahaman teologi akan lebih membumi oleh karena semua pembaca di bawa masuk ke dalam dunia cerita (baca: “scriptural world”); bahwa tidak ada dunia yang lebih nyata daripada ini. [4]
For those who are stepped in them [i.e. in religious texts], no world is more real that ones they create. A Scriptural world is thus able to absorb the universe. It supplies the interpretive framework within which the believers seek to live their lives and understand reality.[5]
Metode yang dikenal sebagai Metode Analisa Struktur ini muncul sebagai reaksi terhadap beberapa metode pendahulunya.[6] Di dalam perkembangannya kemudian, metode ini lebih condong mengikuti perkembangan dalam ilmu sastra. Anggapan dasar yang menjadi titik tolaknya adalah bagaimanapun sejarah kejadian sebuah teks bukanlah merupakan suatu masalah karena yang penting adalah bagaimana melihat dan memahami hasil akhir dari teks tersebut. Sebuah teks harus didekati dan dipahami sebagai sebuah kesatuan dan bukan sebagai suatu kumpulan tradisi. Petunjuk atau kata-kata kunci menafsirkan teks sebenarnya sudah di “sembunyikan” oleh penulis di dalam tulisannya. Itulah sebabnya tidak perlu menggunakan sarana pembantu dari luar untuk menafsirkannya, melainkan kembali ke dalam teks dan menemukannya di sana. Yang perlu dilakukan di sini adalah mencari dan menemukan relasi internalnya.
Dengan memperhatikan peran dari bahasa, pembaca akan dapat melihat realita dan pengalaman hidup iman dengan lebih tajam. Sehingga banyak hal di dalam Alkitab akan terpahami secara lebih nyata dibandingkan dengan sekumpulan dogma yang sulit dipahami dan sulit teraplikasi sebagai produk metode berteologia sebelumnya.
Struktur literatur teks dapat diuraikan dengan cara mengajukan berbagai macam pertanyaan pembantu, misalnya apakah jenis teks ini? Siapakah yang menjadi tokoh utama dan berperan? Adakah perubahan tokoh, tempat dan waktu? Adakah pertentangan yang timbul? Adakah kata kunci yang berulang kali dipakai? Adakah peralihan yang logis atau perpecahan? Adakah hubungan internal di dalam teks? Adakah petunjuk khusus dari penulis sendiri? Dsb.[7]
 
Metode Narasi: Penyeimbang Konsep Berteologi
Problema bagaimana menghadirkan Firman Allah di dalam konteks kehidupan di dalam masa dan kondisi yang berbeda dapat dikatakan menjadi inti pergumulan berteologia. Secara sederhana istilah “teologia” berarti studi tentang Allah. Cakupan yang ada di dalamnya melihat Allah sebagai Pribadi yang aktif di dalam pekerjaan dan relasiNya dengan manusia. Dengan cara yang lain, di dalam teologi memikirkan segala sesuatu yang dapat manusia pahami tentang Allah, tentang dirinya sendiri, lalu bagaimana memahami relasi keduanya. Bahwa Allah memang adalah Allah yang ada di seberang sana, yang terpisah dan tidak akan terkait sama sekali dengan dunia yang diciptakannya (transendensi). Namun pada saat yang sama, Allah adalah juga Allah yang turut serta berada di dalam dunia ciptaan, bahkan tinggal di sana (imanensi). Pergumulan memahami realita ini di dalam prakteknya tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Tidak mengherankan jika usaha ini kemudian lebih menitik-beratkan pada salah satu aspek tertentu dan ini akan menimbulkan problema serius di dalam hal bagaimana seseorang berteologi.
Jika aspek transendental Allah mendapatkan penekanan lebih akan menjadikan teologi yang dihasilkannya kurang (bahkan tidak) relevan dengan konteks budaya dan konteks kehidupan. Sementara jika penekanan diberikan kepada aspek imanensi Allah, maka teologi yang muncul akan lebih bersifat spesifik terhadap konteks budaya dan kehidupan tertentu saja.
Teologia Narasi yang muncul pada dekade 70-an ini memang berusaha mencari jalan keluar mengatasi problema teologi masa-masa sebelumnya yang dirasakan terlalu memberikan tempat yang lebih terhadap aspek transendensi Allah. Grenz mengatakan bahwa pendekatan berteologi mulai pada masa ini berusaha menemukan keunikan dan kepentingan dari sebuah cerita bagi kekayaan pemahaman manusia akan keberadaan dirinya di hadapan Allah[8] ; Bahwa Allah turut serta di dalam realitas hidup yang dinamis. Ia berada bersama umatNya di dalam setiap pergumulan kehidupan mereka yang nyata.
Kehadiran Allah tidak dilihat terpisah, “ada di atas” atau “ada di depan”, namun hadir secara nyata dan pribadi sama seperti kehadiranNya di dalam setiap cerita yang dikisahkan di dalam Alkitab. Cerita ini pada akhirnya menolong setiap orang percaya membangun ceritanya masing-masing. (baca: “berteologi”).
Narrative thinkers agree … that God is a dynamic reality who participates with us on the journey of life. But the focus of the divine participation is story, they argue. God calls us to join our story --  our history – with the broader story of the divine activity in history.[9]
Perhatian terhadap relasi antara narasi dan penyataan Diri Allah di dalam imanensiNya dilihat cara baru menetapkan bangunan teologi Kristen, dalam arti merefleksikan kepentingan narasi di dalam ekspresi pengalaman manusia secara umum dan iman Kristen secara khusus.
 
Pemikiran Ulang :
Cara ini kemudian menghasilkan kontroversi sendiri di kalangan para pemikir teologia narasi. Tidak semua teolog Kristen setuju bahwa cara ini dapat dilakukan dan menjadi cara baru memahami realita iman Kristen.[10] Mereka lebih cenderung memberikan “tanda awas” karena lebih melihatnya sebagai sebuah proses dekonstruksi di dalam berteologia.[11] Beberapa hal yang nampaknya perlu mendapatkan perhatian adalah sebagai berikut :
 
Teks, Cerita & Konsep Pewahyuan
Hans Frei, seperti yang dikutip oleh Clark mengatakan bahwa setiap narasi di dalam Alkitab dilihat sebagai yang dapat berbicara kepada kita secara langsung dan membawa kehidupan kita di tempat seharusnya berada serta sekaligus memberikan arti pada kehidupan itu sendiri.[12] Bacalah setiap kisah sebagai kisah dan setiap arti dari kisah itu dapat ditemukan di dalam kisah itu sendiri. Dunia Alkitab dapat memberikan penuntun bagaimana seorang percaya melihat dan memahami realita kehidupannya tanpa harus direpotkan dengan usaha menterjemahkannya ke dalam konteks dan situasi tertentu. Yang perlu dilakukan adalah memberikan perhatian, bukan kepada cerita itu sendiri, tetapi kepada sesuatu yang ingin disampaikan oleh teks.
Bagi Frei, arti dari Alkitab bagi kehidupan Kristen terletak pada cerita yang disampaikannya dan bukan pada sesuatu yang ada di luar seperti catatan sejarah, pengalaman pribadi setiap orang yang ada di dalam cerita itu. Teks tidaklah menjadi pelayan kepada semua yang berada di luar teks. Arti penting terletak pada cerita.[13] Jadi, yang perlu dilakukan oleh seseorang adalah masuk ke dalam “dunia cerita” tersebut dan mendapatkan semua pengertian itu di dalamnya. Dengan demikian pemahaman teologi yang dibangun atas dasar prinsip ini menemukan isinya di dalam setiap teks Alkitab.
Model semacam ini jelas telah mengabaikan prinsip pewahyuan oleh karena teks di sini dilihat sebagai yang bersifat otonom pada dirinya sendiri atau menjadi sistim tertutup. Hal-hal yang berkaitan dengan historisitas, referensi, ontologi dianggap tidak sesuai dengan sifat narasi dan tidak mencerminkan kesetiaan teologis yang bersifat intratekstual.[14]  
Ronald Thiemann di dalam kritiknya mengatakan bahwa metode narasi telah memberikan perhatian secara berlebihan terhadap teks dan sangat kurang berbicara mengenai hal-hal teologis, bahkan hampir tidak berbicara tentang Allah. Dengan kata lain, berusaha memberikan penekanan kepada aspek imanensi Allah, pengalaman yang nyata bersama Dia, namun demikian fokus kehadiran bersama Allah ini terletak pada cerita.[15] Pembicaraan tentang teks mendapatkan perhatian lebih dan menggantikan wacana tentang Allah. Teks telah mengambil tempat Allah.[16]
Kebenaran dan makna teks terletak pada komunitas tertentu dan tidak pada penerimaan bahwa teks itu adalah wahyu Ilahi. Kategori wahyu yang bersifat ontologis-teologis telah diubah menjadi teks yang bersifat otonom pada diri sendiri. Pemahaman dan pengalaman iman di dalam kekristenan memang melihat dan menerima Alkitab sebagai teks kanonikal yang diwahyukan Allah namun – seharusnya – sekaligus memandang melalui teks tersebut kepada objek referensinya dan menemukan Allah yang telah memberikan wahyuNya tersebut.
 
Pergeseran Fokus Pencarian Kebenaran
Di dalam  bukunya, The Art of Biblical Narrative, Robert Alter memang berhasil membawa hasil studi kritik sastra terhadap Alkitab dengan menarik dan meyakinkan. Itulah sebabnya amatlah perlu seorang pembaca Alkitab memahami segala sesuatu yang berhubungan dengan bahasa dan sastra yang dipakai Tuhan untuk menyampaikan ceritaNya. Keperluan itupun dapat mendorong kita sekarang ini mempelajari unsur-unsur baru yang datang melalui studi kritik literer modern.
Memang bukanlah merupakan sebuah kesalahan – dan bahkan seharusnya demikian – seorang teolog memahami dan menguasai semua bentuk sastra yang menjadi bagian pembentukkan cerita di dalam Alkitab. Pekerjaan hermeneutika di sini akan menjadi lebih bertanggung jawab. Namun pola hermeneutika yang dikembangkan oleh metode narasi semacam ini secara perlahan menggeser fokus teologis kepada hermeneutika formalistik oleh karena banyak unsur di dalam disiplin hermeneutika yang seharusnya mendapatkan perhatian terabaikan. Akibatnya, apabila diterapkan pada suatu keinginan untuk dapat mengerti kebenaran dan hidup, maka akan dijumpai pula pergeseran yang sangat hakiki, kehidupan (Kristen) akan cenderung berpola pragmatis.
Selanjutnya jika diamati, pembacaan Alkitab yang menekankan teks sebagai pusat perhatian rupanya juga tidak serta-merta menjadikan teks sebagai sebuah entitas objektif, melainkan teks itu sendiri direlatifkan oleh komunitas pembaca. Kebenaran lokal dan otoritas pembaca ternyata memiliki peran yang sangat dominan sekali di dalam penentuan makna. Tidak mengherankan jika definisi kebenaran dapat dilihat sebagai kebenaran relatif oleh karena ketergantungan ini. Kebenaran tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang bersifat substantif dan ontologis, tetapi lebih kepada pengertian pragmatis dan kategorial.
 
Perangkap Pengalaman Rohani
Demi mendapatkan pengalaman rohani yang sesuai dengan Alkitab, suatu kehidupan yang lebih konkrit di dalam pengalaman iman seperti yang menjadi promosi di balik penerapan pola hermeneutik narasi, nampaknya terkesan menghalalkan segala cara oleh karena titik perhatian akhir hanya kepada teks dan semua bentuk sastra yang dipakainya. Cara ini berusaha membebaskan diri dari kutub yang satu yang diwarnai dengan kekurang pedulian akan makna aplikatif pembacaan Alkitab dan terjebak pada kutub yang lain, yang sangat menekankan point aplikatif dan kurang – atau bahkan – tidak terlalu peduli untuk memahami Alkitab dalam konteks budaya dan sejarahnya. Dengan kata lain, cara ini berusaha menjembatani kesenjangan yang terjadi antara setiap teks Alkitab dengan aplikasi kehidupan kekristenan di sepanjang abad dan tempat.
Usaha mencari pengalaman rohani ini nampaknya memiliki kemiripan isi meski lain bentuk dengan teologia Neo-Orthodoks. Memang tetap ada perbedaan yang hakiki pula di antara keduanya.[17]  Menurut Karl Barth, Alkitab adalah firman Allah sejauh Allah berbicara melaluinya. Alkitab dengan demikian menjadi Firman Allah di dalam peristiwa ini. Sebelum Alkitab berbicara secara pribadi, sebelum nyata dan terpancar di dalam kehidupan, maka Alkitab bukanlah firman Allah, melainkan sebuah catatan penyataan Allah pada masa lalu sekaligus menjadi janji untuk penyataan masa mendatang. Semua ini akan terjadi jika seseorang (jemaat) membebaskan diri dari text dan mencari meaning melalui pengalaman encountering dengan Roh Allah.[18]
Harvie Conn mengatakan bahwa pemikiran Barth ini akan membawa manusia kepada pengalaman subjektif sebagai kriteria kebenaran. Penyataan Allah dikatakan sebagai perjumpaan, konfrontasi, dialog. Alkitab bukanlah penyataan sampai Alkitab menjadi penyataan kepada kita. Definisi ini menghancurkan konsep penyataan itu sendiri.[19]
Penekankan metode narasi terhadap aspek subjektif di dalam pengalaman iman telah membawanya masuk ke dalam pengalaman mencari arti ke dalam teks dan bersiap menerima “kebenaran baru” yang mungkin sekali tidak pernah ada di dalam pengakuan iman gereja selama ini.
 
Narasi Alkitab & Aplikasi Kebenaran Kristen
Kepedulian yang ada di belakang metode narasi dapat dikatakan tidak salah, hanya metode yang dipakainya perlu dikaji ulang. Metode ini dan cara pendekatan yang digunakan berusaha membawa pembaca menyesuaikan diri dengan dunia simbolik di dalam cerita. Pembaca di dalam hal ini dibawa masuk ke dalam “dunia cerita” untuk dapat memperoleh pengalaman penghayatan yang lebih dari sekedar sebuah pengertian akali saja. Suatu usaha mendeskripsikan dunia simbolik yang diciptakan narasi-narasi Alkitab itu yang pada gilirannya menjadi semacam kerangka interpretif untuk melihat dunia inderawi. Narasi Alkitab dipandang sebagai yang mampu menyusun ulang kehidupan di dalam dunia Kristen.
Langkah ini harus diambil oleh karena pola hermeneutika selama ini dipakai menganggap dunia sekarang adalah realitas utama dan dunia Alkitab harus menyesuaikan diri kepadanya, sementara dunia sekarang pasti mempunyai kisah dan sejarahnya tersendiri.
Dasar asumsi ini justru menimbulkan penghargaan terhadap esensi keberadaan Alkitab menjadi kurang oleh karena Alkitab hanya akan dipandang dan diterima sebagai sumber yang membawa konsep idealistik di dalam wilayah moral dan berbagai lambang pengalaman rohani saja.[20] Narasi yang bersifat sejarah perlu dipertanyakan apakah layak masuk ke dalam pertimbangan oleh karena hal semacam ini bukanlah sesuatu yang harus menempati tempat utama di dalam proses pemahaman dan aplikasi kebenaran Kristiani.
 
Kesimpulan
Berteologia di dalam konteks teologia narasi memiliki keunikan tersendiri. Dengan berbagai pendekatan yang dibuat telah menyajikan dan menjanjikan suatu pengalaman hidup kekristenan yang lebih riil, sebuah pengalaman hidup iman yang konkrit. Usaha ini memang patut mendapatkan penghargaan.
Meski demikian pendekatan yang dikembangkannya ini perlu dipertanyakan ulang oleh karena di dalam banyak aspek justru mengorbankan disiplin ilmu hermeneutika yang selama ini dipakai. Problem yang terjadi terjadi pada dasar anggapan yang ada di belakangnya, bahwa cara mendekati Alkitab selama ini yang dipakai (oleh gereja Tuhan) ternyata hanya menghasilkan gap antara kehidupan Kristen itu sendiri dengan kehidupan orang percaya yang ada di dalam cerita Alkitab. Setiap khotbah yang dikonsumsi jemaat tidak ditemukan area aplikasinya. Bahwa kehidupan setiap tokoh di dalam cerita Alkitab adalah kehidupan yang memiliki rohani “sempurna” dan hal itu tidak mungkin dialami oleh kehidupan masa kini. Kalaupun dialami berada di level bawah.
Pendekatan narasi membuka pintu terlalu lebar akan kemungkinan penetapan kebenaran Alkitab secara relatif dan subjektif. Kebenaran pada teks akan sangat ditentukan pada peran komunitas pemberi makna. Kebenaran mendapatkan kekuatannya dari pengalaman realitas si penerima.
Bangunan teologi iman Kristen justru sangat percaya sifat objektivitas dari Alkitab yang menyatakan kebenaran Allah tanpa harus ditentukan kebenarannya dari pihak luar. Untuk mendapatkan semua ini tentunya menggunakan jalur bagaimana sikap dan cara mendekati, mempelajari dan menarik kebenaran Alkitab itu keluar (hermeneutika). Prinsip, metode dan cara yang salah pasti akan menghasilkan kesimpulan prinsip, metode dan cara aplikasi di dalam kehidupan yang salah pula.
 
 
Kepustakaan
 
Barth, Karl. (Trans) G.T. Thomson. Church Dogmatics. Edinburgh: T & T Clark, 1977
Boadt, Lawrence. Reading the Old Testament, An Introduction. New York: Paulist Press, 1984.
Theo Witkamp. “Tentang Metode-metode Penelitian Teologi (terutama dalam Ilmu Alkitab)”, Gema Duta Wacana. No.42/1992.
Clark, David K. “Narrative Theology and Apologetics.” JETS 36/4 December 1993.
Conn, Harvie M. Teologia Kontemporer. Malang: SAAT, 1988.
Darmawijaya, ST. Membangun Jembatan antara Teologia Cerita Rakyat dengan Teologia Cerita Alkitab. Gema Duta Wacana. No. 41/1991.
Frei, Hans. “Response to Narrative Theology: An Evangelical Appraisal,” Trinity Journal 8:1 September 1987
_________. The Eclipse of Biblical Narrative: A Study in Eighteenth and Nineteenth Century Hermeneutics. New Haven: Yale University, 1974.
Goldberg, Michael. Theology and Narrative. Nashville: Abingdon, 1982.
Grenz, Stanley. “Twentieth-Century Theology, The Quest for Balance in Transitional Age.” Perspectives June 93.
Grenz, Stanley Roger E. Olson. 20th Century Theology, God & the World in a Transitional Age. Downers Grove: InterVarsity Press, Illinois, 1992.
Groenen, C. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1979.
_________. Peristiwa Yesus. Ende: Nusa Indah/Kanisius, 1979.
Hadiwijono, Harun. Theologia Reformatoris Abad 20. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1985.
Andreas Himawan, “Tekstualitas dan Intratekstualitas,” Veritas 1/2 (Oktober 2000).
Lindbeck, George. The Nature of Doctrine: Religion and Theology in Postliberal Age. Philadelphia: Westminster, 1984.
Mello, Anthony J. Sejenak Bijak. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
_____________ . Burung-burung Berkicau Edisi 2. Cipta Loka Caraka, 1985.
Stroup, George W. The Promise of Narrative Theology. Atlanta: John Knox, 1981.
Thiemann, Ronald. “Response to George Lindbeck,” Theology Today 48:3, October 1986.
 

 

[1] Anthony J. Mello, Sejenak Bijak, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal.7. top
[2] Ada tiga usulan cara pembacaan yang diusulkannya, yaitu (1). Membaca cerita sebagai sebuah hiburan. Di sini, cerita hanya dibaca satu kali saja. (2). Membaca sebuah cerita dua kali dan melakukan refleksi. Inti cerita itu diterapkan di dalam kehidupan pembaca. (3). Cerita yang sama dibaca tiga kali lalu ciptakan sebuah keheningan di dalam hati setelah melakukan refleksi. Anthony J. Mello, Burung-burung Berkicau Edisi 2, (Cipta Loka Caraka, 1985) hal. 11.   top

Senin, 23 Januari 2012

Apa itu teologia dan hubungan dengan iman kristen


IMG1423A.jpg
Definisi Teologia
Apa itu teologia?????
Istilah teologi, dalam bahasa Yunani adalah "theologia". Istilah yang berasal dari gabungan dua kata "theos, Allah" dan "logos, logika". Arti dasarnya adalah suatu catatan atau wacana tentang, para dewa atau Allah. Bagi beberapa orang Yunani, syair-syair seperti karya Homer dan Hesiod disebut "theologoi". Syair mereka yang menceritakan tentang para dewa yang dikategorikan oleh para penulis aliran Stoa (Stoic) ke dalam "teologi mistis". Aliran pemikiran Stois yang didirikan oleh Zeno (kira-kira 335-263 sM.) memiliki pandangan "teologi natural atau rasional", yang disebut oleh Aristoteles, dengan istilah "filsafat teologi", sebutan yang merujuk kepada filsafat teologi secara umum atau metafisika.
Sejarah Penggunaan Istilah Teologia
Walaupun Filo (20 sM.-50 M., seorang Yahudi Helenis dan pemimpin komunitas Yahudi di Aleksandria. Filo juga seorang pengarang yang produktif. Ia menafsiran Pentateukh secara alegori), menyebut Musa seorang "theologos", yakni seseorang yang berbicara tentang Allah atau seorang juru bicara Allah, tetapi tidak ada bentuk bahasa Yunani yang menunjukkan istilah ini di dalam Perjanjian Lama Saptuaginta (LXX) atau di dalam Perjanjian Baru (Kecuali sebutan "theologos" di dalam manuskrip Wahyu kepada Yohanes). Istilah teologi mulai digunakan oleh kaum Apologis (sebuah kelompok kecil para pengarang Yunani abad kedua yang mengadakan pembelaan bagi kekristenan pada masa penganiayaan, fitnahan, dan serangan intelektual). Teologi kadang-kadang "merujuk kepada sesuatu yang ilahi", "sebutan Allah", sebuah makna yang seringkali muncul dalam perdebatan tentang keilahian Kristus (Christology) dan Roh Kudus. Pada tahun 200 M., kedua istilah Yunani dan istilah Latin untuk teologi disesuaikan terjemahannya untuk dipakai dalam pengajaran, biasanya dalam pengajaran Kristen tentang Allah. Athanasius, memakai istilah teologia sebagai cara untuk memahami tentang keberadaan Allah, yang dibedakan dengan dunia dan sebagainya, seperti yang dilakukan Agustinus untuk mengajarkan tentang Allah. Sesekali, dalam tulisan-tulisan bapak-bapak gereja istilah teologi merujuk kepada pemahaman yang luas dari doktrin-doktrin gereja. Dalam komunitas-komunitas iman, tidak ada pemisahan antara pengajaran tentang Allah dan pengetahuan (misalnya, pengertian dan pengalaman) tentang Allah. Dalam hal ini, teologia dapat berarti "memuji Allah".
Perkembangan Penggunaan Istilah Teologia
Istilah "teologi" dipakai oleh para penulis Sholastik (istilah yang digunakan oleh kaum humanis dan pada abad ke-16 digunakan oleh para sejarahwan filsafat untuk menjelaskan pandangan para filosof dan teolog pada abad pertengahan) dan universitas-universitas Baru di Eropa, di mana teologi menjadi sebuah pelajaran yang sangat sistematis, sebuah ladang studi dan pengajaran, bahkan sebagai sebuah disiplin atau sebuah ilmu. Pemakaian istilah teologi tidak sepenuhnya baru -- ini telah dimulai sebelumnya oleh komunitas Yunani Kristen dan beberapa di dalam tulisan-tulisan bapak-bapak gereja, tetapi hal ini masih merupakan bayangan perkembangan teologi sebagai sebuah disiplin akademis yang tidak hanya menjadi bagian dari komunitas Kristen. Pada saat yang sama para pelajar di universitas-universitas memperluas perbedaan antara macam-macam teologia yang beragam, di samping pembedaan umum antara teologi dan filafat, seperti halnya perbedaan antara iman (faith) dan alasan (reason). Walaupun para Reformator secara umum tidak sabar dengan perbedaan yang dibuat oleh para pelajar di universitas-universitas, namun para pendahulunya, pada zaman Konfesional Ortodoksi atau Protestan Skholastisme telah mengadopsi atau mengembangkan sebuah kategori yang luas tentang macam-macam teologi.
Istilah Teologia di Era Modern
Di era modern, teologi sering di pakai dalam pengertian yang luas dan cakupan yang komprehensif, yang merangkum semua disiplin ilmu, baik di universitas-universitas maupun dalam pelayanan-pelayanan gerejani (contohnya, bahasa alkitab, sejarah gereja, homiletika, dll.). Teologi adalah sebuah disiplin akademik, contohnya, literatur atau fisika. Lebih tepat, istilah teologi merujuk kepada pengajaran tentang Allah dan hubungannya dengan dunia dari penciptaan sampai penyempurnaan (consummation). Pengajaran ini telah dirangkum dalam sebuah catatan rasional yang dibuat secara spesifik oleh seseorang atau lebih dari suatu kualifikasi yang luas, yang mengindikasikan gereja atau tradisi termasuk, Monastik, Katolik Roma, Reformed, Evangelikal, Ekumenikal. Bahan-bahan dasar teologi, seperti alamiah, alkitab, konfesi-konfesi, simbol-simbol (misalnya, didasarkan pada sebuah 'simbol' gereja, yang artinya di sini adalah kredo-kredo, dll.). Teologi mengandung doktrin, seperti, doktrin baptisan, doktrin Trinitas, dll. Pusat organisasi atau motif atau fokus teologi, misalnya, perjanjian (covenan), liberasi, inkarnasional, feminisme, teologi salib -- masing-masing merujuk kepada lebih dari satu pokok bahasan. Tujuan teologi untuk memberi keputusan bagi pendengarnya, misalnya dalam apologetika, polemik, dll
Hubungan iman dengan  teologia
"Melalui Iman Kita Mengerti" (Ibrani 11:1)
Teologi merupakan "penemuan", "penyusunan" dan "penyajian" mengenai kebenaran-kebenaran tentang Allah. Sama sekali tidak ada unsur yang merekomendasikan bahwa teologi itu bisa "direkayasa". Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam teologi, yakni: (1). Teologi dapat dimengerti. Artinya teratur dan rasional, berlawanan dengan "perasaan", "kontemplasi-perenungan" dan "imajinasi-hayalan". Kemampuan berpikir analitis sangat diperlukan. Agar bisa mengerti, teologi harus dipelajari dan ditekuni serta "hidup" di dalamnya. (2). Teologi menuntut adanya penjelasan. Artinya melibatkan "interpretasi" dan "sistematisasi". Ini ada kaitannya dengan pemaknaan suatu tema ajaran alkitabiah, istilah-istilah dan kosep-konsep teologi. Dalam prinsip ini, seseorang yang hendak belajar atau ingin memahami "sesuatu" dalam dan tentang teologi, ia harus menjadi seorang "penafsir" dan memiliki "sistem" berteologi tersendiri. Atau, paling tidak, mengadopsi sistem teologi tertentu yang diyakini "benar". (3). Beriman. Iman harus bersumber pada Alkitab. Antara "beriman" dan "berteologi" secara Kristen itu hampir tidak ada bedanya. Namun, kadang-kadang suatu prinsip teologi bisa dikorbankan untuk iman; atau sebaliknya. Walau demikian, sumber teologi dan iman Kristiani harus berdasarkan pada [bukan 'dari' atau 'dalam'] Alkitab sebagai standard -- pedoman utama.
Syarat-syarat Berteologi Secara Sederhana:
(1). Harus percaya.
Memang ada seseorang yang mampu berteologi dengan baik tetapi tanpa iman. Tetapi, seorang teolog yang percaya, akan mampu memberikan penjelasan wahyu Allah yang tidak sepenuhnya dimengerti dengan pikiran yang terbatas. - Di sinilah pernyataaan, "Kita diam apabila Alkitab diam" sangat relevan. "Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita..." (Ul. 29:29).
(2). Harus berpikir
Berpikir identik dengan berfilsafat. Dalam berteologi, filsafat dianggap sebagai "Ibu" yang menggendong teologi itu. Tanpanya, teologi akan kekurangan. Pola berpikir seorang teolog, bukanlah mengabaikan rasio, tetapi, sebaliknya ia mampu mengatur - memanaga rasionya dengan teratur. Seorang teolog harus mampu berpikir secara teologis, yakni, berpikir secara eksegetik, berpikir dengan memahami suatu arti secara tepat. Misalnya, istilah "teologia Reformasi", secara tepat mengacu kepada suatu aliran teologi yang muncul pada era Reformasi abad ke-16-17. Bukan atau tidak ada kaitannya dengan reformasi politik di Indonesia, dsb. Dalam syarat inilah, mengapa istilah-istilah teologi itu tetap dipertahankan dan seminimal mungkin tidak dikontekstualkan. Seorang teolog, tidak hanya sebagai interpreter, tetapi juga mampu mempertahankan konsep-konsep teologianya secara utuh (logis dan berwibawa).
(3). Harus Interdependen
Cara berpikir setiap orang memang berbeda-beda. Ada yang berpikir secara zig-zag, tetapi ada juga yang berpikir secara sistemik, teratur. Orang yang berpikir zig-zag tidak akan mampu mengintegrasikan pemikirannya secara konsistena. Sebaliknya, mereka yang berpikir sistematis, mampu melihat dan mengintegrasikan seluruh pemikirannya secara konsisten. Dunia teologi, adalah dunia berpikir dan analisis. Dalam berpikir dan menganalisa, seorang teolog tidak mungkin berdiri sendiri. Ia harus bergantung kepada pihak di luar diri dan pemikirannya. Dalam hal ini, intelek saja tidak cukup. Seorang teolog harus memiliki sumber pemikiran dan pemahaman yang berasal dari luar dirinya sediri. Seorang teolog harus interdependen. Seorang teolog harus memiliki pegangan utama, Alkitab -- wahyu Allah. Teolog harus memiliki panduan yang dapat dipercaya, yaitu para ahli dan karya mereka yang dapat dipertanggungjawabkan. Dan teolog harus tunduk pada pembimbingnya, yaitu Allah, yang kepadanya ia sedang belajar dan berteologi. Karena, "Roh Kebenaran itu akan memimpin ke dalam seluruh kebenaran" (Yoh. 16:13).
(4). Harus Menyembah.
Meskipun berteologi identik dengan latihan akademik, namun, idealnya seorang teolog adalah penyembah yang baik dan benar. Seorang teolog harus sadar betul kelayakan dari obyek penyembahannya dan sekaligus taat. Kata Yesus, "sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa". (Yoh. 15:5).