Kepekaan Teologi pada Tanda Zaman
Kesibukan berteologi kita sekarang ini terasa kurang terarah. Mungkin, karena kita kurang merumuskan persoalan dengan jelas, atau bisa juga karena soal yang kita pergumulkan kurang mempunyai pijakan pada kenyataan kehidupan. Kesibukan kita kurang peka terhadap tanda-tanda zaman. Sehingga, teologi kita tidak punya komitmen yang sungguh-sungguh terhadap masa depan. Kecuali itu, dalam lingkungan akademis, teologi kita juga tak punya referensi pada perkembangan ilmu- |
ilmu sosial pada umumnya, sehingga
perspektif berpikirnya cenderung berpusing-pusing mengitari diri
sendiri. Di sana-sini sekadar sebagai ungkapan yang merupakan pergumulan
sepenggal, tidak utuh, dan tidak mempunyai gaung yang mampu merangsang
orang untuk memberikan tanggapan.
Sebenarnya perlu kita akui,
bahwa ada cukup banyak fragmen yang terserak-serak, yang merupakan buah
pikiran reflektif sesaat, namun belum dipadukan dalam sebuah susunan
yang menyatu.
Dalam keadaan "impasse" semacam
itu diperlukan pemikiran terobosan yang bisa ditawarkan sebagai sebuah
kemungkinan pengganti. Sebuah alternatif guna mengawali komitmen
berteologi yang berangkat dari pengalaman nyata. Dan dengan demikian
lebih punya kemungkinan untuk ditumbuhkan menjadi sebuah diskursus,
untuk merangkai usaha berteologi lebih utuh dan berkesinambungan.
Untuk itu, melalui tulisan ini
saya ingin mengemukakan beberapa aspek pemikiran tentang theologia
religionum (teologi agama-agama) dan berusaha mengaitkannya dengan
persoalan pluralisme agama. Pengantar umum ini tidak akan dimulai dengan
definisi ketat, namun lebih akan memberikan ilustrasi tentang perlunya
memulai sebuah diskursus teologi. Dengan cara memaparkan masalah serta
pilihan-pilihan yang kita hadapi sejelas-jelasnya. Saya sendiri berharap
bahwa pemikiran-pemikiran yang akan ditawarkan dalam tulisan ini cukup
mampu memberi pijakan pada upaya terobosan untuk mencari kemungkinan
lain dari kehidupan berteologi yang pengap seperti yang terjadi di
tengah kehidupan gereja-gereja sekarang ini.
Tantangan Pluralisme
Pertanyaan yang hendak kita
pergumulkan bersama adalah, tantangan pokok macam apakah yang dihadapi
oleh agama-agama sekarang ini? Dan bagaimana tantangan tersebut telah
memberi dampak pada agama-agama; serta bagaimana agama-agama memberi
respons terhadap tantangan tersebut? Perubahan-perubahan apakah yang
telah terjadi, dan bagaimana perubahan itu mempengaruhi pola pikiran,
institusi dan kegiatan agama-agama? Bagaimana pula tantangan tersebut
akan mewarnai masa depan dari agama-agama serta hubungan antaragama?
Tantangan keagamaan yang
mendasar yang kita hadapi sekarang ini bisa kita ungkap dengan satu
kata, yaitu pluralisme. Tidak ada maksud untuk mengatakan bahwa
pluralisme merupakan satu-satunya tantangan, akan tetapi bila tantangan
tersebut tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka agama-agama akan
kehilangan persepsi yang benar tentang dunia dan masyarakat di mana
mereka hidup. Pluralisme telah menjadi ciri esensial dari dunia dan
masyarakat sekarang. Dunia telah menjadi satu dan menjadi sebuah kampung
kecil di mana umat manusia hidup bersama di dalamnya. Kelompok-kelompok
masyarakat hidup saling berhubungan, saling tergantung satu terhadap
yang lain. Jaringan komunikasi telah menembus tembok-tembok yang tadinya
mengisolasi kelompok-kelompok agama di masyarakat.
Pluralisme bukan sekadar
multiplikasi kepelbagaian, bukan hanya ekstensif, akan tetapi
kualitatif. Pluralisme masa sekarang, jenis, bentuk dan isinya berbeda
dengan pluralisme yang kita alami di masa lampau. Pluralisme masa lampau
menuntut suatu respon kerukunan, ko-eksistensi, dan keserasian hidup
dari kelompok-kelompok agama di masyarakat. Corak kepelbagaian itu
bersifat pasif, kalau kita mendatanginya kita baru mengalaminya; akan
tetapi pluralisme sekarang ini bersifat sangat aktif, kalau kita tidak
mempedulikannya maka kita akan digilasnya.
Pluralisme di masa sekarang
terjadi karena tiap-tiap kelompok itu sudah mengalami proses emansipasi
sedemikian rupa, sehingga setiap bagian itu sudah melakukan emansipasi
bersama, dan tampil bersama secara setara. Tidak ada orang bisa bilang
bahwa sesuatu pihak tak punya hak untuk tampil. Dengan demikian bisa
dikatakan, bahwa pluralisme jenis yang sekarang ini tampil bersama
dengan kesadaran emansipatoris dari setiap kelompok yang ada di
masyarakat. Kenyataan semacam ini melahirkan urgensi baru untuk memahami
serta menanggapinya secara baru.
Juga secara kuantitatif,
pluralisme di masa sekarang jumlahnya lebih banyak dan lebih kompleks
dibanding dengan yang ada di masa lampau. Ini yang disebut multiplikasi
kepelbagaian. Muncul kombinasi-kombinasi serta berbagai bentuk campuran
dari berbagai agama yang muncul yang menambah jumlah kelompok-kelompok
agama tersebut, baik secara intern maupun ekstern. Di satu pihak kita
melihat jumlah denominasi gereja bertambah, teapi jumlah agama bertambah
pula. Ada gejala yang kita sebut "New Age", ada begitu banyak
"sekte-sekte" sempalan yang merupakan campuran dari berbagai macam
agama, dan juga kombinasi agama dengan berbagai bentuk ideologi.
Respon Terhadap Tantangan Pluralisme
Pertanyaan mendasar yang
dihadapi dalam mencari format teologi yang memadai untuk menghadapi
pluralisme adalah "apa arti kenyataan pluralisme tersebut bagi
gereja-gereja?" Theologia religionum pada dasarnya merupakan upaya dari
dalam komunitas keagamaan tertentu untuk melakukan refleksi atau
pemikiran yang runtut tentang kesadaran baru sebagai upaya untuk memberi
respon terhadap persoalan pluralisme tersebut. Theologia religionum tak
lain adalah upaya refleksi teologis untuk menempatkan pluralisme
sebagai pusat perhatian dan pusat persoalan.
a. Intern dan ekstern
Guna menyusun sebuah theologia
religionum yang mempunyai pijakan pada realitas, maka kita perlu
menunjuk pada dua faktor yang akan menentukan corak pemikiran teologis
yang hendak kita bangun. Yang pertama adalah faktor intern (gerejawi)
dan yang kedua faktor ekstern (kehidupan agama-agama secara umum).
Pada tataran intern gerejawi,
Theologia Religionum merupakan upaya untuk mencari makna teologis dari
pluralisme agama-agama tersebut. Ini sebenarnya merupakan tugas esensial
dari upaya setiap kelompok agama untuk membuat dirinya relevan dengan
keadaan, dengan kata lain ia merupakan wujud dari apa yang selama ini
disebut sebagai teologi kontekstual. Yang menyangkut kehadiran agama
tertentu di masyarakat. Sedang pada tataran eksternal bisa dikatakan,
bahwa theologia religionum merupakan respon kita terhadap keseluruhan
masa depan dari masyarakat maupun masa depan agama-agama.
Hubungan-hubungan agama di masa
lalu terlalu terbatas dalam hubungan yang bercorak pasif. Kita
menyongsong suatu hubungan yang lebih aktif dan yang bisa membuahkan
kerja sama yang lebih erat demi masyarakat yang kita kehendaki bersama.
Di sini kita dituntut untuk berpikir lebih positif tentang agama-agama.
Bahwa masa depan menjadi masa depan bersama (dan masa depan yang sama)
dari semua permasalahannya itulah yang akan mempengaruhi dan membentuk
sebuah theologia religionum.
Pada dasarnya, upaya ini
merupakan antisipasi bersama terhadap masalah-masalah dan
harapan-harapan bersama tersebut. Seluruh kerangka dari theologia
religionum ini tak bisa kita pisahkan dari komitmen kita terhadap masa
depan bersama itu. Dan juga sekaligus merupakan cara untuk mengoreksi
hubungan-hubungan yang telah terjadi di masa lalu. Untuk mengatasi
persoalan-persoalan antaragama yang terjadi di dalam sejarah masa lalu.
Jadi, dalam banyak hal theologia religionum merupakan sebuah langkah
pembaruan hubungan. Basis spiritual dan intelektual dari tugas kerja
sama itulah yang hendak dirumuskan dalam theologia religionum.
b. Persoalan kebenaran
Menyusun sebuah theologia
religionum tidak bisa dipisahkan dari upaya yang berhubungan dengan
perhatian kita tentang kebenaran. Itu berarti, bahwa kita semua harus
berakar kepada rumusan tentang kebenaran yang sudah dihasilkan dalam
sejarah oleh tokoh-tokoh pemikir teologi dalam seluruh sejarah di masa
lalu. Juga seluruh pengalaman serta persoalan yang belum selesai
dirumuskan di masa lampau. Kebenaran itu menjadi benang merah dari
kehadiran agama-agama tersebut, ia tidak bisa diputuskan dan harus tetap
terpelihara. Ia bukan merupakan tema yang baru akan dirumuskan, tetapi
merupakan tema lama yang akan dirumuskan ulang dalam konteks yang baru.
Kebenaran itulah yang menjadi
dasar dari kehidupan komunitas agama tersebut. Dari tradisi tersebut,
kita menemukan kriteria untuk berbicara tentang kebenaran dalam konteks
yang baru tersebut. Aspek yang penting dari kebenaran itu adalah aspek
kritis-profetis yang tersimpan dalam perbendaharaan agama tersebut.
Dengan kata lain, suatu aspek, yang terus-menerus harus ditumbuhkan
untuk mencari kemungkinan lain dalam konteks pluralisme yang serba
beragam tersebut.
Dengan aspek kritis dari
kebenaran tersebut, maka ia akan selalu terus mencari dan melakukan
eksplorasi yang tak ada habis-habisnya. Dengan demikian, aspek utama
theologia religionum sebenarnya adalah karakteristik yang kritis
tersebut. Sudah barang tentu, semuanya itu harus diterjemahkan dan,
diperkembangkan dari inti iman yang diakui bersama dalam setiap
komunitas keagamaan tersebut.
Perumusan Theologia Religionum
Sebelum kita melakukan
eksplorasi lebih lanjut, kita kembali kepada pertanyaan utama, "kenapa
kita justru membutuhkan sebuah theologia religionum dan bukan teologi
yang lain? Bukan teologi dogmatik yang lebih umum dan menyeluruh, atau
teologi yang bergerak pada sektor-sektor kehidupan yang lain. Kenapa
tantangan pluralisme kita anggap sebagai tantangan utama bagi agama pada
zaman ini?" Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa jawaban
yang bisa kita kemukakan:
a. Apresiasi aktif
Barangkali akan lebih mudah
untuk membahas pluralisme secara menyeluruh apabila agama-agama bisa
menemukan suatu "independent criteria" yang bisa diterima bersama.
Namun, agaknya hal itu tidak mungkin. Kita tidak mungkin menemukan
"independent criteria" tersebut, karena tidak ada kriteria objektif yang
berlaku universal untuk semua agama, yang bisa diterima oleh semua dari
semua agama. Oleh sebab itu, langkah utama yang harus dilakukan adalah
memulai tugas ini dari setiap individu agama sebagai sebuah refleksi
kritis yang sifatnya subjektif.
Suatu pemahaman yang
sungguh-sungguh tentang makna pluralisme hanya bisa diselenggarakan dari
dalam. Oleh sebab itu, tak bisa tidak, ia menuntut sebuah pendekatan
teologis. Kita perlu memulainya dengan kesadaran tentang kekurangan dan
keterbatasan yang ada pada diri kita sendiri dalam seluruh tradisi yang
kita kenal selama ini guna merumuskan makna teologis dari agama-agama
dan agama kita sendiri. Kita terpanggil untuk mengambil inisiatif untuk
melakukan suatu "apresiasi aktif" terhadap agama-agama lain.
Berdasarkan tradisi pemikiran
teologis yang kita miliki, kita harus berupaya merangkum dan menempatkan
tradisi keagamaan lain secara positif berdasarkan kepada keunikan kita
menggambarkan makna dari pluralisme keagamaan tersebut. Yang bisa
dihasilkan dari upaya ini adalah sebuah model yang mungkin cocok untuk
model lain yang bisa dikembangkan oleh komunitas agama lain. Model yang
bisa memberikan inspirasi bagi semua pihak. Jadi, ini merupakan langkah
yang mempertaruhkan seluruh kehadiran kita dalam konteks pluralisme
tersebut. Tawaran untuk mempercakapkan kehadiran agama-agama di
masyarakat secara baru.
Upaya ini tidak menunggu, akan
tetapi suatu refleksi dari urgensi kebutuhan kita untuk membuka
sekat-sekat yang ada pada diri kita sendiri, serta untuk meruntuhkan
prasangka-prasangka lama dalam diri kita sendiri, baik di masa lampau
maupun sekarang ini. Tidak mempersoalkan kesiapan dari pihak lain,
tetapi untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan kita sendiri.
Ini merupakan cara membongkar
bangunan lama yang tidak cocok lagi, karena ia mengisolasi diri kita
selama ini. Teologi semacam ini akan menjadi upaya untuk membangun
jembatan yang baru yang didasarkan pada kriteria dan idiom kita sendiri,
untuk membuat evaluasi kembali dalam menghadapi dan menilai, mengoreksi
cara kita memandang agama-agama lain. Dengan itu, kita lebih respek
kepada tradisi keimanan yang lain.
b. Titik tolak trinitas
Theologia religionum berdasar
kepada totalitas ajaran keimanan Kristen. Kontras antara tekanan
partikularitas dan universalitas selalu merupakan ketegangan abadi dari
agama-agama. Dan kedua kutub tersebut selalu menjadi ciri ketegangan
yang kreatif dalam agama. Keduanya tidak bisa dipungkiri dan disisihkan,
karena keduanya merupakan bagian yang inhern pada setiap agama. Dan
theologia religionum juga harus memainkan perannya dan perumusannya
dalam rangka ketegangan kreatif antara dua kutub tersebut.
Memang, hanya bisa kita katakan
bahwa theologia religionum akan merupakan tekanan yang besar kepada
aspek universalnya, tanpa melupakan segi-segi keunikannya. Atau dengan
kata lain, keunikan agama tidak disanggah, akan tetapi dia dilihat dalam
perspektif universalnya. Inilah yang kiranya merupakan "yardstick"
dalam mengungkap theologia religionum itu. Yaitu ajaran tentang
universalitas agama itu.
Dalam rangka ajaran Kristen
tentu kita akan segera bertemu dengan ajaran trinitaris, yaitu bagaimana
kita mengungkapkan relevansi dari ajaran tentang Tuhan Bapa, Tuhan
Anak, dan Tuhan Roh Kudus itu dalam menilai harga agama-agama
non-kristen. Baiklah, untuk sementara kita sisihkan dulu Roh Kudus
karena soal itu barangkali akan jauh lebih "mudah" kita lakukan.
Pertanyaan yang utama dalam
ajaran Kristen adalah bagaimana kita menempatkan dan memikirkan hubungan
antara kristologi dan teologi. Kristologi kita anggap sebagai bagian
dari keunikan partikularit sedang teologi bagian dari universalitas.
Soalnya adalah, bagaimana kita menafsirkan kristologi secara baru
sehingga mampu memberi tempat kepada agama-agama? Secara umum bisa kita
katakan, bahwa kristologi yang ada tidak dirumuskan dalam konteks
pluralisme agama-agama seperti yang sekarang ini. Mungkin, di sinilah
tepatnya kita mengatakan bahwa yang kita butuhkan adalah teologi
agama-agama dan bukan kristologi agama-agama. Sebab, tekanan yang hendak
kita berikan adalah universalitas itu.
Maksudnya di sini bukan berarti
bahwa kristologi itu harus kita gantikan dengan teologi atau sebaliknya,
karena keduanya bukan alternatif satu terhadap yang lain. Keduanya
justru merupakan bagian yang saling melengkapi. Pilihan kita bukan salah
satu apakah kristologi harus diganti dengan teologi, karena kristologi
memang mempunyai corak yang eksklusif. Teologi memang bisa menerobos
kelemahan dan keterbatasan tertentu. Lalu, keduanya diterobos dengan
pneumatologi.
Semua itu bukan menggantikan,
mengabaikan, atau menampik satu terhadap yang lain, seperti yang banyak
diusulkan para teolog pluralis. Yang kita butuhkan adalah, bagaimana
kita mengerjakan kristologi atau teologi atau pneumatologi, sehingga
menjadi "christology of religions" atau "theology of religions" atau
"pneumatology of religions". Apapun namanya, semua itu harus merupakan
langkah apresiasi terhadap pluralisme agama-agama. Menciptakan ruang
untuk menghargai agama lain untuk menghormati agama lain. Semuanya harus
dilakukan untuk tidak mengulangi kesalahan dan indeferensi yang lama.
Mungkin bagi pemikir teologi Kristen, cukup untuk mengatakan bahwa
theologia religionum yang baik dan memadai adalah yang bercorak
trinitaris.
c. Soteriologi
Kecuali soal kebenaran yang unik
dan universal tersebut, soal lain yang sangat penting adalah soal
soteriologi. Di sini bisa dipertanyakan kembali: sampai seberapa jauh
sebenarnya pemahaman mengenai keselamatan itu memberikan corak tertentu
pada teologi kita, dan bagaimana hubungannya dengan soal kebenaran itu?
Bagaimana kristologi dan teologi yang mengklaim kebenaran itu
menempatkan agama-agama dalam kerangka besar keselamatan umat manusia?
Di sini kita bergumul dengan
kemungkinan untuk menerobos bentuk-bentuk teologi dan kristologi yang
kaku dan memberikan ruang yang bebas dan positif untuk mengakui
kehadiran dan nilai agama-agama itu dalam pemahaman soteriologi kita.
Dan pemikiran kita mengenai Roh Kudus juga tidak banyak dikaitkan dengan
soal soteriologi ini. Mungkin, jikalau pneumatologi ini sudah kita
kaitkan dengan soteriologi, maka kristologi dan teologi akan bisa
diatasi dengan baik. Sehingga, kita tidak berbicara tentang teologi atau
kristologi agama-agama, melainkan pneumatologi agama-agama, di mana di
dalamnya dan melalui pengakuan itu kita menerima agama-agama selaku
kehadiran Roh yang menyelamatkan.
Selama ini, mungkin karena
tekanan kita terlalu berat kepada teologi agama-agama maka, ada banyak
kritik yang mengatakan bahwa ini hanya menyangkut agama-agama "wahyu"
saja, yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Sedang agama-agama Timur lainnya,
seperti Hindu, Budha dan Konfusianisme tidak mendapat tempat
sewajarnya, kecuali ada pemaksaan tertentu. Mungkin di masa depan
pneumatologi ini akan merupakan terobosan baru bagi upaya untuk
merangkum agama-agama.
Soteriologi memberi horizon yang
lebih konkret. Ia merupakan sambungan antara doktrin dan praksis.
Setidak-tidaknya, ia merupakan gabungan antara kerangka teoretis yang
bisa mempertemukan doktrin dan etika, serta bisa memberikan titik pijak
yang memberi tekanan kepada soal etika menjadi penting. Titik perhatian
yang khusus dan terfokus di sana.
Teologi agama-agama harus
diabdikan kepada upaya untuk mengkonkretkan iman kepercayaan, untuk
membangun kehidupan manusia yang lebih baik. Kebenaran menjadi konkret
dalam kenyataan kehidupan. Soal dogmatis dan kebenaran bukan tidak
penting, tetapi justru sebaliknya, yang hendak dituju adalah ungkapan
praksis dari hubungan antaragama itu. Paul Knitter telah berusaha dalam
bukunya "NO OTHER NAME?" untuk mengeksplisitkan suatu konsern tentang
kebenaran digabung dengan komitmen etika. Ini merupakan suatu langkah
yang harus terus-menerus dijajagi.
Kebenaran telah dijadikan satu
dengan kebajikan. Roh telah menjadi daging. Antara creed dan deed antara
doktrin dan tingkah laku, antara teori dan praksis, antara iman dan
buah-buahnya, antara ortodoksi dan ortopraksis, telah dipersatukan.
Demikian juga perlu dipikirkan untuk menciptakan suatu pemikiran yang
lebih utuh tentang hubungan antara wahyu (revelation) di satu pihak
dengan soteriologi di pihak lain. Pengabsahan akan berlakunya pernyataan
Tuhan (revelation) akan memberikan implikasi yang positip pula kepada
gagasan tentang keselamatan yang ada dalam agama-agama.
d. "Self understanding"
Agaknya tidak usah disangsikan,
bahwa semua agama perlu membuat versi theologia religionum sendiri yang
terbuka dan positif. Hal itu tak bisa dihindari, karena dunia majemuk
dan agama yang majemuk yang meliputi seluruh dunia. Kenyataan global ini
menantang semua agama serta menuntut mereka untuk mengklarifikasikan
dan menjelaskan sikap mereka satu terhadap yang lain. Agama secara
individual dituntut untuk menjelaskan secara baru sikap yang baru untuk
menciptakan attitudes yang baru terhadap yang lain.
Jadi, ia merupakan suatu
re-interpretasi terhadap agama-agama, dan di pihak lain merupakan suatu
"self understanding" yang baru bagi gereja-gereja dan umat Kristen. Ia
berfungsi ke dalam umatnya sendiri, dan berfungsi sebagai jembatan untuk
melangkah keluar yang menghubungkan umat sesuatu agama dengan umat
beragama lain yang punya tradisi pemikiran keagamaan yang berbeda. Ia
melakukan penyempurnaan dan koreksi terhadap stereotip yang lama yang
cenderung menciptakan konflik yang sia-sia.
Tantangan peradaban, respons gerejawi
Pertanyaan yang bisa kita
kemukakan adalah: apakah yang khas yang akan terjadi dalam milenium yang
ketiga ini? Tantangan apa yang bakal muncul yang berbeda dengan dua
ribu tahun yang sudah berlalu? Konsentrasi kita memang pada pluralisme.
Kita diperhadapkan dengan soal keperbedaan, kemungkinan lain serta
alternatif yang lain yang ditawarkan begitu banyak. Dan kita harus
memberi respon yang memadai. Kita bukan hanya akan mengubah, tetapi juga
diubah oleh perubahan yang sedang terjadi. Dan, ini merupakan tantangan
kita untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi kedatangan milenium yang
ketiga itu.
a. Tantangan milenium ketiga
Pada milenium ketiga, kita
ditantang untuk memberi makna kepada apa yang disebut "religious
otherness" itu. Dalam ribuan tahun yang pertama, kita melihat dalam
sejarah bahwa keperbedaan agama telah melahirkan suatu masa panjang yang
amat pahit. Yaitu masa intoleransi dan masa inkuisisi (persecution)
yang amat panjang dan amat "sadis" dalam sejarah kemanusiaan.
Dalam ribuan tahun yang kedua
kita melihat masalahnya sebagai sedikit lebih beradab, sekalipun
semuanya masih berakar kepada adu kekuatan baik fisik maupun mental.
Semuanya masih diukur dengan menang atau kalah. Ada banyak kematian yang
terjadi, akan tetapi terutama "theological killing" menjadi corak utama
dari ribuan tahun yang kedua dari sejarah manusia beragama.
Sedang dalam milenium ketiga
kita menghadapi sesuatu yang lain, tantangan yang dihadapi adalah
bagaimana kita tetap menjaga identitas kita tanpa meremehkan, dan bahkan
bisa menghargai identitas keagamaan orang lain dan integritas agama
orang lain. Ini cara yang sedikit banyaknya secara ideal lebih beradab
sesuai dengan kemajuan peradaban manusia. Tanpa menekan dan
mengeliminasi orang lain. Di sini kita dipaksa oleh keadaan perubahan,
bahwa sikap intoleransi dan sikap perang agama dianggap sebagai hal yang
tidak beradab, tidak berkebudayaan, atau minimal akan dianggap sebagai
orang yang tidak tahu tata krama bermasyarakat. Tentu perkembangan
masyarakat semacam ini akan turut mempengaruhi dan bisa menjadi semacam
rem alamiah bagi konflik-konflik yang akan meletup.
Kian disadari pada masa sekarang
ini, bahwa masalahnya bukan mengalahkan orang lain, akan tetapi
bagaimana tetap bertahan dan melakukan perubahan dari dalam, dan hidup
sebagai manusia yang beradab. Dalam masyarakat majemuk kontemporer
sekarang ini, ada banyak produk hukum yang melindungi hak-hak asasi
serta melindungi integritas dari keyakinan yang tak bisa dilecehkan
dengan bebas begitu saja. Sikap pelecehan agama perlu diatur dalam
hukum.
Peradaban kita sekarang memang
telah sampai kepada upaya bersama untuk saling menghormati satu sama
lain. Semua itu berlawanan dengan konteks hidup modern. Kita melihat ada
banyak beban sejarah yang melekat pada kehidupan keagamaan kita
sekarang ini. Sebagai contoh, sinode Dutch Reformed Church di Belanda
masih memuat dalam keputusan sinodenya tahun 1986 yang mengatakan "agama
Islam adalah agama sesat (palsu) dan berbahaya mengancam secara serius
terhadap kekristenan dan kemanusiaan".
Oleh sebab itu, agama Islam
harus diwaspadai. Di sini kita melihat bahwa beban yang diwariskan oleh
cara pandang kolonial masih melekat pada sebagian dari gereja-gereja di
Barat. Dan contoh lain adalah pengakuan (semacam Anggaran Dasar) gereja
HKBP yang sampai sekarang masih menyelipkan kepedihan dari sentimen
keagamaan dari abad ke-16, semasa Marthin Luther, dengan tetap
mempertahankan kecurigaan negatip terhadap gereja Katolik. Di sini kita
melihat bahwa hubungan negatip Islam-Kristen belum juga selesai selama
13 abad. Dan di kalangan Kristen sendiri membutuhkan waktu lebih dari 5
sampai 6 abad untuk memikirkan corak hubungan yang lebih baik dari abad
ke-16. Hal-hal seperti itu tentu harus dipikirkan ulang dan diganti
dengan sikap dan rumusan yang lebih cerdas dan beradab.
Dengan kenyataan seperti itu,
maka bisa kita katakan bahwa ada begitu banyak pernyataan mengenai agama
lain diterbitkan, seolah-olah penganut agama lain itu tidak ada, atau
tidak mendengar apa yang ditulis dalam pernyataan tersebut. Seolah-olah
seperti pengadilan "in absenstia". Seolah-olah dalam agama lain tidak
ada ahli dalam agama itu, sehingga dipandang dengan mata memicing
sebelah. Bahkan tidak dibayangkan bahwa akan ada orang lain yang akan
membaca dan memberi tanggapan, mereka dianggap tidak ada, sehingga
tulisan mengenai agama lain itu sama sekali bersifat tidak dialogis.
Dirumuskan dengan mengandaikan
ketidakhadiran penganut agama lain. Mereka dianggap "absent" bahkan
"non-exist". Dan cenderung memaksakan persepsi dari penulis terhadap
agama lain tersebut. Dengan itu memang sulit dicapai apresiasi positif
dan aktif terhadap agama lain. Dan tak diberi kesempatan internal dari
refleksi terhadap agama lain untuk memikirkan reaksi yang mungkin
timbul, bahwa apa yang dinyatakan tersebut mempunyai dampak, baik kepada
dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Dalam menyusun pernyataan
mengenai agama lain maka kehadiran umat beragama lain sungguh tidak
dipikirkan secara serius. Tidak diandaikan, bahwa mereka juga kritis
terhadap pernyataan itu. Sehingga, tak ada proses pertumbuhan untuk
ruang berpikir yang baru, yang bisa keluar dari persepsi berdasarkan
pengalaman yang baru mengenai pluralisme. Karena itu, sampai sekarang
kita belum bisa keluar dari jenis literatur teologi yang pada dasarnya
bersifat antitetis, polemis dan apologetis.
Jadi, dengan demikian dapat kita
simpulkan bahwa metode dari perumusan theologia religionum dilakukan
dengan mengandaikan kehadiran orang lain tersebut dalam proses. Dengan
demikian ada suatu "dialog" yang terjadi secara internal. Hanya dengan
cara itu, maka akan dilahirkan theologia religionum yang berbobot dan
yang benar-benar berpijak kepada kenyataan, dikontrol dan diawasi.
Sehingga bisa menjadi bahan percakapan yang produktif dan membuahkan
hasil positif.
b. Tantangan eksklusifisme (Barth, Kraemer)
Kita menghadapi kristologi yang
kolonialistis dan imperialistis, tetapi kita juga menghadapi godaan yang
sama dari jenis teologi universal yang pada dasarnya sangat
paternalistis dan eurosentris. Seolah-olah seluruh pengalaman rohani dan
intelektual keagamaan harus dijabarkan dalam paradigma yang bercorak
Barat dan universal. Sebab jelas, bahwa kritik India dari Smith untuk
memindahkan aksen dari kristologi ke teologi. Namun, teologi Smith
sendiri mengandung kelemahan yang sulit diatasi, khususnya dalam
menghadapi agama-agama Timur seperti Hindu yang politheistis, Budha yang
non-theistis (tidak mengandalkan diri pada paradigma mengenai Tuhan),
dan Konfusianisme, dan khususnya juga ideologi yang sekularistis yang
tidak membicarakan Tuhan dalam tata pikirnya.
Bagaimana juga bisa diakui bahwa
teologi universalnya W. Cantwell Smith bisa mengatasi eksklusivisme
tokoh-tokoh lama seperti Barth dan Kraemer, dan memberikan suatu pijakan
pemikiran yang baru? Jelas-jelas dalam pemikiran teologi Kraemer,
kristologinya merupakan suatu "bentuk imperialisme keagamaan" (fasilitas
agama). Yang menunjukkan arogansi dan sikap yang sangat
partikularistis, dan hal itu dengan efektif ditembus oleh orang seperti
Smith dan John Hick yang mengatakan bahwa ada suatu "revolusi berpikir"
dalam masyarakat pluralistis ini, yaitu dari "geosentrisme" (baca:
kristosentrisme) kepada "heliosentrisme" (baca: theosentrisme).
Paradigmanya berubah dari eksklusivisme ke arah pluralisme.
Kristologi semacam itu tidak
bisa lagi dipakai untuk menilai secara positif agama-agama lain. Upaya
mencari kebenaran menjadi upaya penghakiman agama yang memutuskan
hubungan. Smith menunjuk, bahwa yang penting adalah keimanan kepada
Tuhan, dan bukan kepada Kristus yang juga beriman kepada Tuhan. Jadi
sumbangan pemikiran teologi Smith saya kira secara efektif telah mampu
mengoreksi kelemahan dan keterbatasan dari teologi krisis atau
neo-orthodoksi, atau teologi dialektisnya Barth dan Kraemer.
Kita tidak memakai argumen bahwa
teologi kritis tersebut dibentuk dan dibuat pada zaman sebelum perang
Dunia II, yang untuk masa pluralisme sekarang sudah tidak relevan.
Kelemahan Smith adalah kelemahan yang inheren pada setiap bentuk teologi
yang dibuat untuk menjawab pertanyaan dan problem yang khusus, di sana
kekuatannya dan sekaligus kelemahannya.
Semua itu dikemukakan oleh
antara lain George Chemparaty dalam artikelnya "Dialectical Theology and
Non-Christian religions", kritik yang tajam kepada teologi dialektik
yang bercorak negatip terhadap agama lain, berdasarkan kristosentrisme
yang berlebihan. Kita harus mencari kemungkinan lain, kemungkinan yang
berbeda dari posisi seperti itu. Pandangan tersebut, sekarang ini
berinkarnasi pada fundamentalisme Kristen yang muncul dalam bentuknya
yang lebih buruk dan lebih dangkal, yang menilai agama-agama hanya
sebagai "anak-anak setan" yang menuju neraka. Karena itu, tak ada
pengertian kontinuitas dan tak ada "point of contact" antara agama
Kristen dan agama-agama non-Kristen.
Pandangan tentang wahyu juga
memberikan pemahaman yang amat sempit mengenai soteriologi, dan
cenderung terperangkap dalam mentalitas ghetto dalam kehidupan agama.
Oleh sebab itu, pada hemat saya teologi dialektik harus ditolak sebagai
pilihan yang tidak relevan dengan tatanan dunia plural sekarang, dan
harus diganti dengan sesuatu yang baru, yang lebih berakar kepada
pergumulan mengenai pluralisme agama.
Teologi krisis berhadapan dengan
masalah totalitarianisme ideologi naziisme. Dan mengaplikasikannya
kepada dunia agama-agama, dan dengan semboyan: "sola fide et solo
christo". Dan anehnya, semua itu dilakukan tanpa pengetahuan secukupnya
tentang agama-agama non-Kristen. Sehingga, terjadi ketimpangan yang
mencolok dalam memahami agama-agama tersebut. Konteks dari teologi
krisis tidak relevan lagi untuk diterapkan pada situasi yang sekarang,
di mana prinsip emansipasi justru menempatkan semua kelompok masyarakat
untuk mengambil bagian dalam pergaulan yang beradab dari umat manusia.
Sikap negatif (eksklusif) pada
zaman sebelum Perang Dunia II dianggap sebagai nilai (value), sedang
pluralisme dianggap sebagai problem; sedang di masa sekarang justru
sebaliknya yang terjadi pluralisme dianggap sebagai nilai dan sikap
eksklusif dianggap sebagai problem. Dengan perubahan paradigma dan
pemahaman ini maka kita mencoba mencari tracee baru dan kemungkinan baru
bagi perumusan theologia religionum yang baru.
c. Tantangan pluralisme ekumenis
Dalam tulisannya dalam buku
"Christ's Lordship and Religious Pluralism" W. Cantwell Smith
mengemukakan salah satu aspek yang perlu kita simak tentang pluralisme
di kalangan Kristen. Dan ini merupakan kenyataan yang secara sungguh
harus diperhitungkan. Kita melihat apa yang disebut kesadaran tentang
"multiplicity of alternatives", yang dihadapi dalam konteks pluralisme
yang sangat drastis dihadapi oleh semua warga masyarakat.
Situasi dunia, masyarakat, agama
dan denominasi Kristen, Pluralisme dari eksegesis, dari model bergereja
(organisasi) dari bentuk-bentuk kepemimpinan, dari kegiatan serta misi
gereja, serta pemahaman tentang ajaran-ajaran yang dianggap ortodoks.
"...that christian tradition is a religiously plural one...", bahwa
tradisi kristen merupakan tradisi yang sangat majemuk, bukan sesuatu
yang monolitik dan uniform.
Sehingga, yang kita hadapi
adalah suatu pluralisme yang coraknya khusus. Dan eksklusifisme dalam
kekristenan ini hendak dipecahkan dengan metode yang sama dengan cara
menghadapi pluralisme yang ekstern, yaitu dengan mengembangkan dialog
dan kerja sama antardenominasi. Dan eksklusifisme dianggap sebagai
sesuatu yang immoral, dan merupakan ilusi dan heretic dalam arti yang
sesungguhnya. Yang muncul dalam banyak sekte yang totalitarian dan
sektarian. Theologia Religionum juga bisa berperan dalam hubungan
semacam ini, sehingga sebuah theologia religionum sesungguhnya juga bisa
memiliki peran yang bisa mengatasi soal hubungan antardenominasi dengan
semangat yang lebih apresiatif. Ada banyak kesejajaran yang kita temui
saat kita memikirkan persoalan hubungan antaragama dengan hubungan
antargereja.
Dialog dan Kolaborasi Antaragama
Dengan theologia religionum dan
dengan dialog akan dapat diciptakan jembatan untuk menciptakan dasar
bagi kolaborasi antaragama. Theologia religionum bukan upaya untuk
mengeluarkan (mengeksklusifkan) agama-agama lain, akan tetapi sebaliknya
untuk membangun suatu jembatan kerja sama. Bukan untuk memilih mana
yang benar dan mana yang salah, akan tetapi membangun sebuah diskursus
untuk membangun kerja sama etika antaragama. Theologia religionum pada
dasarnya adalah sebuah teologi untuk membangun dialog dan kerja sama
antaragama. Perspektifnya adalah mengarah kepada kesimpulan yang bukan
hanya prinsipal, akan tetapi menyangkut langkah nyata. Jadi, theologia
religionum bermuara pada dua cabang yaitu dialog dan kolaborasi
antaragama.
a. Dialog antaragama
Dialog antaragama adalah sebuah
wacana yang tak bersifat teoretis belaka, akan tetapi menyangkut
diskursus dari semua pemikiran yang mempengaruhi perkembangan dan
mempengaruhi kehadiran dari agama-agama tersebut di masyarakat. Dialog
itu terbentang sedemikian luas sejauh jangkauan cakrawala berpikir,
sejauh jangkauan dari eksplorasi yang bisa terjadi dan juga menyangkut
semua aspek kehidupan manusia yang bisa menjadi agenda yang bisa
didialogkan bersama.
Tetapi, tentu yang menjadi fokus
utama adalah menyangkut aktivitas di mana distorsi dari persepsi
keagamaan yang ada di masing-masing pihak pada instansi pertama harus
diluruskan dan dijernihkan. Sehingga, tidak bisa lagi dengan sengaja
dilukiskan secara karikatural mengenai agama lain yang menyalahi,
kesalahpahaman yang sengaja yang tak bersetuju dengan pandangan yang
dimengerti dan diakui umat agama yang lain.
Dengan begitu, sebenarnya sebuah
langkah dialog pada instansi pertama adalah sebuah langkah korektif
terhadap distorsi tersebut. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah,
bahwa tidak semua agama menghadapi persoalan yang sama, oleh sebab itu
dalam mengemukakan jawaban juga tidak perlu sama. Dengan demikian,
kenyataan tersebut justru akan memperkaya setiap agama yang melakukan
dialog. Berdasarkan kelebihan dan kedalaman yang ada pada agama-agama
yang berbeda tersebut.
Sudah barang tentu harus diingat
pula kandungan misioner dari setiap agama, yaitu untuk memberlakukan
klaim universal dari kebenaran yang diakuinya. Panggilan misioner
semacam itu juga menjadi ajang komunikasi yang positif yang justru bisa
memberikan kemungkinan bagi adanya dialog yang produktif. Jadi aspek
apostolik dan aspek misioner dan profetik dari dialog itu pada dasarnya
bukan untuk membela kebenaran sendiri, akan tetapi juga memberi dan
menerima kesaksian kepada orang lain.
Gavin D'Costa dalam bukunya
"Theology and Religious Pluralism" mengemukakan perlunya dikembangkan
dua arah dari dialog, yaitu yang pertama: personal dialogue, anggota
komunitas keagamaan secara pribadi dan informal, dialog antarpemeluk
agama. Yang bisa membahas apa saja yang mereka agendakan. Dialog ini
bersifat personal. Tidak atas nama komunitas resmi dan tidak mewakili
mereka. I-Thou Relationship seperti model Martin Buber. Di pihak lain
ada juga model dialog yang kedua yang lebih resmi yang merupakan dialog
institusional. Yang merupakan wakil resmi dari agama tersebut. Dialog
model ke dua ini lebih resmi. Dua hal ini perlu dilakukan secara
bersama.
b. Kolaborasi antaragama
Soalnya adalah, bagaimana
menghasilkan buah-buah iman yang berguna bagi orang lain? Bukan
sendiri-sendiri, akan tetapi bersama-sama. Aspek praksis dari kerja sama
antaragama ini merupakan "jalur ke luar" dari kebutuhan yang bisa
terjadi dalam dialog teoretis antaragama. Karena kita selalu terganggu
dengan kenyataan yang mungkin terjadi, bahwa memang mustahil untuk
menjadikan salah satu agama menjadi pengganti dari agama-agama yang
banyak itu, dan juga ketika kita gagal membuat suatu agama kita menjadi
benar-benar universal, maka sendi-sendi etika bisa ditawarkan sebagai
kemungkinan lain. Bukan doktrin yang mencakup semua agama, akan tetapi
pada tingkat etika kita bisa mengajukan proposal bersama dari kerja sama
antaragama.
Jadi, ada kemungkinan bahwa
konsern etika dan yang lebih praktis ini justru mampu melahirkan suatu
platform yang lebih luas daripada basis yang bercorak teoretis. Apabila
teologi universal telah mencapai perkembangannya yang terakhir dan tidak
bisa dikembangkan lagi, mentok, maka dimensi etika ini justru masih
bisa melakukan eksplorasinya sendiri. Praksis justru terbentang luas
tanpa batas. Jadi dengan kata lain kita tidak lagi memimpikan adanya
suatu "common religion for common humanity", akan tetapi masih bisa
melakukan kemungkinan kolaborasi antaragama dalam bidang etika. Kita
bisa berbicara tentang "common problem and common mission".
Kita menyadari bahwa mungkin
sulit untuk menciptakan suatu "universal theology of religion" yang bisa
mencakup dan diterima oleh semua agama. Sudah banyak kritik terhadap
pretensi semacam itu. Karena, dengan itu keunikan dari agama-agama
kemungkinan akan digilas dan dibypass, dan cenderung mengecilkan makna
dari pluralisme itu sendiri. Sebab, theologia religionum bukan
dimaksudkan untuk mengatasi perbedaan antara agama, akan tetapi hanya
memberi makna positif terhadap agama-agama tersebut.
Sehingga, keperbedaan tersebut
benar-benar secara positif diterima sebagai berkah dan anugerah Tuhan.
Partikularitas agama-agama tersebut tidak dihilangkan. Teologi universal
tersebut memang harus diakui keterbatasannya, yaitu sejauh ia diterima
secara sah sebagai ungkapan dari kelompok sesuatu agama untuk menghargai
agama lain dengan caranya sendiri dan terbatas pada konteksnya sendiri.
Tetapi tak bisa diklaim sebagai (...?) dengan sendirinya relevan untuk
konteks yang lain. Untuk itulah, maka dimensi etika lebih muncul sebagai
option atau pilihan yang lebih bersifat "universal". Aksen pada etika
akan jauh lebih memiliki potensi perubahan dibanding dengan aksen yang
bersifat teoretis. Khususnya untuk konteks di Indonesia. Tetapi, hal itu
hanya bisa terjadi apabila didukung oleh sebuah teologi yang bersifat
terbuka dan apresiatif terhadap iman kepercayaan lain. Bahkan, bisa
dikatakan bahwa kerja sama yang sungguh-sungguh tak mungkin dilakukan
tanpa suatu sikap fundamental yang positif terhadap agama lain.
Tujuan khusus yang hendak
dicapai dalam upaya merumuskan theologia religionum di Indonesia adalah
agar gereja-gereja secara teologis bisa merumuskan solidaritasnya, rasa
hormatnya, serta rasa senasib sepenanggungan untuk menghadapi persoalan
bersama di masa depan, serta bisa menjalin kerja sama yang erat antara
semua orang yang beriman.
Di sinilah kegunaan dari
theologia religionum dalam melengkapi umat untuk mampu masuk dalam kerja
sama antaragama secara produktif. Malahan ia merupakan fungsi untuk
mendukung kerja sama tersebut. Hal itu merupakan proses internalisasi
dari umat beragama untuk mampu berhadapan secara terlengkapi dengan
bekal suatu dasar teologis menerima orang lain sebagai mitra kerja.
Theologia Religionum dan Agama Transformatif
Dalam bentuk semacam itu maka
agama akan menjadi agama transformatif yang bisa memberikan ilham bagi
semua orang. Memberikan harapan, moral yang tinggi dan kesadaran yang
mendalam kepada warga masyarakat. Di situ, agama menjadi agama yang
mempunyai kekuatan transformatif dan kreatif bagi masyarakat. Ini
merupakan bagian inti profetik agama-agama menjadi potensi agama-agama
mampu tampil bersama-sama selaku pemberi alternatif dan selaku penerang
bagi masalah kemanusiaan sekarang ini.
Yang dibutuhkan bukan pandangan
eksplisit saja, akan tetapi juga aplikasi dari doktrin keagamaan dalam
kenyataan kontemporer sekarang ini. Penjabaran dari doktrin keagamaan
dalam praksis politik, ekonomi dan kebudayaan dan segenap bidang hidup
itulah yang akan memberikan corak transformatif dari kehadiran agama.
Jadi Theologia religionum harus
disusun sedemikian rupa, sehingga memiliki posisi yang benar-benar
komited kepada perubahan masyarakat. Dan juga memberi solidaritas kepada
mereka yang menjadi korban dari tingkah laku masyarakat sekarang ini.
Sebuah theologia religionum tak akan banyak gunanya apabila itu
terisolasi dari komitmen untuk menegakkan keadilan, dan lain-lain
masalah yang mencuat sekarang ini.
Teologi tidak bisa dirumuskan
sedemikian rupa, sehingga bisa menjadi penghalang untuk menghargai iman
orang lain. Pernyataan negatif dan yang sudah menyatu dengan seluruh
sistem dogmatik kita yang bercorak polemis-apologetis. Baik yang termuat
dalam kitab-kitab pelajaran agama, dalam kidung-kidung pujian, dalam
liturgi, maupun dalam ajaran-ajaran gerejawi yang memberikan keterangan
negatif tentang iman kepercayaan orang lain. Yang pada dasarnya memang
merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap agama yang lain, atau yang
dianggap suci oleh agama lain. Dalam konteks kehidupan masyarakat
sekarang, hal tersebut telah menyerang kehormatan dan integritas orang
lain.
Akhirulkalam (kesimpulan)
Dalam upaya memaparkan persoalan
serta alasan untuk merumuskan theologia religionum tersebut di atas,
bisa kita simpulkan bahwa dengan memikirkan pluralisme, dialog serta
kerja sama antaragama, kita memperoleh horizon serta langit yang baru
untuk memikirkan kembali secara menyeluruh pemikiran teologi kita.
Dengan demikian, kita memperoleh pijakan untuk membangun sebuah
kemungkinan lain dari cara kita berteologi, bergereja dan mengembangkan
cara kita beragama secara menyeluruh.
Theologia religionum adalah cara
untuk memperluas cakrawala dan langit-langit berpikir kita lebih luas
dan lebih tinggi. Dengan kata lain, upaya untuk merumuskan theologia
religionum menjadi identik dengan upaya pembaruan teologi itu sendiri,
yang tentu nanti ada implikasi dalam seluruh kehidupan gereja. Pembaruan
teologi adalah identik dengan upaya theologia religionum karena konteks
yang paling menantang dari kehadiran Kristen adalah konteks dari
pluralisme dan pertemuan antaragama . Theologia religionum merupakan
"ujung tombak" dari pembaruan gereja dan agama di masa sekarang ini.
Saya berharap, pembahasan
theologia religionum ini bisa menjadi titik tolak bagi langkah terobosan
kita untuk membongkar kemacetan kehidupan teologi kita, dan di pihak
lain bisa memberikan langkah baru untuk menciptakan kehidupan beragama
yang lebih produktif dan lebih manusiawi.